Jakarta, Aktual.com — Peran pemerintah meskipun sangat penting tetapi tidaklah mencukupi karena diperlukan pula kemampuan masyarakat yang inovatif guna membangun ekonomi nasional, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Gabungan kebijakan publik pemerintah baik dari sisi fiskal moneter dengan kemampuan masyarakat dibutuhkan dalam membangun bangsa ini,” kata Jusuf Kalla saat memberikan kuliah umum di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta, Kamis (15/10).

Menurut Wapres, tanpa kedua hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai berbagai hal yang baik seperti mewujudkan kemakmuran dan keadilan guna membangun bangsa yang besar.

Jusuf Kalla juga mengingatkan bahwa aspek kemajuan ekonomi, stabilitas politik, keadilan sosial, dan ketertiban hukum semuanya tidak berdiri sendiri-sendiri.

“Itulah bagian upaya bangsa ini untuk maju,” kata Wapres dihadapan peserta yang berjumlah sekitar 400 orang tersebut.

Jusuf Kalla juga menggambarkan bagaimana teori ekonomi selama ini yang awalnya mengenal paham ekonomi liberal melalui ekonom Adam Smith antara lain melalui konsep “invisible hand” (tangan tidak terlihat).

Namun, lanjutnya, setelah terjadi krisis depresi besar pada periode tahun 1928-1932, maka munculah teori dari ekonom Maynard Keynes bahwa harus ada campur tangan pemerintah.

“Dalam teori Keynesian, pemerintah harus mengambil peran yang lebih besar dalam bentuk kebijakan publik,” katanya.

Namun, Kalla menyatakan bahwa pada dekade tahun 1970-an muncul kembali paham yang berpegang kepada liberal yaitu neoliberalisasi yang menyatakan bahwa bila terlalu banyak peran pemerintah maka ekonomi tidak bakal lancar.

Kemudian selanjutnya, setelah didukung kekuatan besar di dunia seperti Presiden AS Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Raya Margaret Thatcher, neoliberalisme berjaya dan terjadilah krisis finansial global tahun 2008.

Akibat dari krisis yang dampaknya masih terasa di berbagai penjuru dunia ini, maka bergeloralah kembali paham yang menginginkan peran pemerintah yang lebih baik dan lebih dalam mengatasi ekonomi pasar.

Sebelumnya, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Indonesia for Global Justice menyatakan paham liberalisasi perekonomian telah mengganggu stabilitas harga pangan nasional sehingga pemerintah seharusnya menjauhi paham tersebut.

“Liberalisasi pasar yang terjadi dalam era ekonomi abad 21 ini telah menghilangkan kontrol negara atas sistem pangan yang berdaulat,” kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik di Jakarta, Selasa (13/10).

Menurut dia, era liberalisasi pangan dan pertanian dimulai sejak berlakunya perjanjian WTO yang mendorong pembukaan pasar pertanian melalui penghapusan tarif dan melarang negara untuk membuat kebijakan pangan dan pertanian yang berdampak terhadap distorsi harga pangan global.

Kondisi pelemahan ekonomi global yang ditunjukan melalui penurunan harga komoditas di pasar global, lanjutnya, memiliki dampak sensitif terhadap stabilitas harga pangan nasional.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan