Gonjang ganjing politik di Indonesia ibarat pertandingan bola. Adu strategi, adu stamina, taktik dan tackling nan cantik menjadi ciri dari permainan ini. 
Di sosial media digambarkan kekalahan pertandingan politik antara mitra Jokowi (Koalisi Indonesia Hebat/KIH) saat melawan Koalisi Prabowo (Koalisi Merah Putih/KMP) dengan skor 0–5. Merujuk dari pertarungan pembahasan UU MD3, UU Pilkada, UU Tatib, pemilihan ketua DPR dan pemilihan ketua MPR. 
Dengan dikuasainya lembaga legislatif oleh KMP, maka akan berdampak kesulitan buat kelincahan gerak pemerintahan Jokowi. 
JK sudah tua, daya dan manuver politiknya lemah.
Kalkulasi Megawati dengan memutuskan JK sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi disamping sebagai karena berkemampuan dalam membiayai kampanye, juga tentunya secara politis akan bisa menguasai beberapa partai politik untuk berpihak kepada PDI Perjuangan.
Asumsinya, Megawati secara sadar kemampuan dan kelincahan suaminya alm. Taufik Keimas dalam berselancar di tengah arungan dan ombak perpolitikan di Indonesia, selama ini “hanya bisa ditandingi” oleh kelincahan dan kekuatan ekonomi Jusuf Kalla.
Namun apa lacur, dari arena pertandingan dan arus gelombang politik di Indonesia yang sangat besar terjadi. Kemampuan JK sudah sangat jauh berkurang kelincahan dan nama besarnya tenggelam oleh kemampuan lawan politiknya. 
Ambil contoh, sebelum pilpres, PPP yang tadinya sudah mendukung JK ada 22 petinggi DPP-PPP, hanya beberapa gelintir saja termasuk SDA yang memilih Prabowo, namun kemudian PPP dengan “drama transaksi lelang” dimenangkan oleh Prabowo. 
Demikian juga dengan Partai Golkar, ketika beberapa kali “pimpinan daerah melakukan pertemuan” yang digagas oleh orangnya JK, ternyata malah semakin kuat dukungan kepada ARB. Kelincahan Akbar Tanjung dalam memagari benteng ARB di partai warisan rezim Soeharto ini tidak bisa ditembus oleh JK.
Malah berakibat dipecatnya beberapa tokoh muda potensial oleh Partai Golkar yang mendukung Jokowi-JK, tanpa JK bisa berbuat apa-apa.
Selanjutnya kekalahan demi kekalahan kubu KIH sejak UU MD3, UU Pilkada, disapu bersihnya Pimpinan DPR –RI, kalah di MK tentang UU MD3 dan kalah telak dalam memperebutkan pimpinan MPR-RI, membuktikan pengaruh JK sebagai tokoh politik yang dulu pada tahun 2014 sangat lincah dan lantang, sama sekali tidak terdengar lagi. 
PPP bergabung hanya dikarenakan sakit hati tidak diberikan peran oleh KMP, lobby politik JK (atau malah tidak melakukan lobby) terhadap anggota DPD kalah jauh dengan edaran yang dikeluarkan oleh ARB, walaupun kekompakan pimpinan DPD luar biasa memunculkan hanya satu orang wakil ke MPR–RI, banyak anggota DPD yang bisa dipengaruhi oleh ARB dkk.
Rebut hati rakyat.
Melihat kondisi ini petinggi partai KIH (Megawati, Surya Paloh, Wiranto dan Muhaimin ) sudah harus mengevaluasi tidak hanya mengantungkan harapan kepada JK seorang, yang selama (nostalgia) ini dianggap masih punya kemampuan manuver seperti tahun 2014, sekarang terbukti sudah tidak lincah lagi karena umur beliau sudah bertambah 10 tahun.
Malah celakanya “pendukung JK” seperti Sofyan Wanandi, Luhut dkk malah sering mengeluarkan pernyataan kontraproduktif membuat masyarakat resah, terutama keinginan menaikan harga BBM sebagai salah satu solusi untuk memperbesar ruang fiskal pada APBN 2015. Padahal masih banyak jalan dengan ide-ide kreatif memperbesar ruang fiskal tersebut.
Petinggi Kemitraan Indonesia Hebat seharusnya dari sekarang sudah menekan ruang gerak dan ambisi JK dalam mengatur kabinet Jokowi dengan barisan menteri secara transaksional, yakni yang “dianggap berjasa memenangkan Pilpres” atau yang punya afiliasi terhadap keinginan menghilangkan subsidi BBM sesuai pesanan kalangan neo liberalisme.
Walaupun impeachment diatur demikian nyelimet bukan tidak mungkin jika rakyat sudah tidak mendukung dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan Jokowi, jalan berliku bisa menjadi memudahkan bagi oposan.
Sebenarnya kesulitan tersebut bisa diatasi dengan keberanian dan terobosan ide-ide baru dan cemerlang dari barisan Menteri di Kabinet Trisakti Jokowi, tentunya dengan kualifikasi sebagai petarung yang kompeten dan bersih tidak bermasalah, bukan karena unsur kedekatan ataupun balas jasa. 
Di samping itu pihak KIH dan Kabinet Jokowi perlu membatasi program yang membuat rakyat gerah, jangan lagi menyatakan siap untuk tidak populer, dukungan rakyat harus dipelihara tidak saja dari bebotoh, relawan pendukung Jokowi-JK, akan tetapi rakyat yang bukan pendukungpun juga harus direbut hatinya, sehingga dukungan rakyat kepada Jokowi tidak berkurang malah bisa bertambah.
Caranya sebenarnya mudah namun pelaksanaannya membutuhkan kemampuan Menteri yang cekatan bukan lagi yang belajar, terutama dibidang per ekonomi an yang menyentuh harkat hidup rakyat, cari menteri dan dukung secara total oleh Presiden Jokowi yang mempunyai program ril untuk menyikat kartel pangan menghilangkan sistim kuota dan mengganti dengan sistim tariff sehingga harga kebutuhan pangan bisa turun 30 %. 
Jika harga bisa diturunkan dipastikan gebrakan tersebut akan merebut hati rakyat, selanjutnya sikat Mafia Minyak, pilih Menteri yang berani melakukan inefisiensi di bidang energi (Migas dan Listrik) sehingga bisa menghemat 64 Triliun (tekan biaya Cost Recovery, import langsung via G to G hapus cukai mafia 2 USD/barel) , jangan naikan harga BBM yang Rp. 6500/liter, akan tetapi lakukan “subsidi silang” dengan menurunkan kadar oktan. Lalu naikan harga Petramax sehingga mendapatkan keuntungan Rp40 Triliun rupiah. 
Kalau perlu Jokowi dan petinggi KIH minta calon Menteri untuk presentasi program mereka. Last but not least Menteri-Menteri di Kabinet Trisaktinya Jokowi harus dicari yang mampu “menundukan” komisi di parlemen karena track record dan kompetensinya diakui oleh semua pihak termasuk kalangan oposisi di parlemen.