“When the Missionaries arrived, the Africans had the land and the Missionaries had the Bible. They taught how to pray with our eyes closed. When we opened them, they had the land and we had the Bible”

Jomo Kenyatta

Itulah ketika kawasan Afrika Timur masih dikoloni Inggris, sebelum merdeka jadi tiga Negara terpisah, Kenya, Uganda, dan Tanganyika.

Apa yang dikemukakan Bapak Bangsa negara Kenya itu sungguh getir.  Biar pun tak bermaksud melecehkan agama, dalam hal ini agama Nasrani, Jomo mengingatkan apa yang dia tuturkan itu faktual. Apa adanya. Sesuai dengan watak kolonialisme bangsa-bangsa Eropa sejak abad 15.

Presiden Pertama Kenya kelahiran Ichaweri, Gatundu 20 Oktober 1892 ini, seperti juga Nelson Mandela dari Afrika Selatan. Sama-sama pengagum Soekarno. Jomo mengaku patriotisme dan nasionalisme dia sebagai putra Afrika dari Suku Kikuyu kian terbakar oleh Semangat Dasasila Bandung, yang dikobarkan Soekarno melalui Konperensi Asia Afrika (KAA) di Bandung April 1955.

Sebagai jurnalis dan penerbit Mwigwithania, surat kabar bulanan berbahasa Kikuyu, Jomo mengaku banyak belajar dari Soekarno tentang kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dari penggagas KAA itu, Jomo membuktikan kemunafikan Eropa dibalik slogan demi 3G (Gold, Glory, dan Gospel). Standar ganda Eropa menjustifikasikan kolonialisme imperialisme kuno terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah tugas suci demi Gold, Glory, dan Gospel.

3G yang terdiri dari Gold demi mengelola sumber daya alam (SDA) koloni, Glory berupa penguasaan koloni bukti kejayaan Ras Aria bangsa-bangsa Eropa sebagai pemimpin peradaban dunia. Gospel dalam arti memperadabkan bangsa-bangsa biadab di luar Eropa, agar hidup sesuai peradaban Eropa yang didasari nilai-nilai Yudeo Christianity Roman, baik Agama Katolik Roma juga kemudian Kristen Protestan.

Itu yang mendorong kolonialis Eropa bukan hanya mengeruk SDA koloni demi kemakmuran kejayaan negara induk masing-masing, tapi juga meng-‘kristen’-kan (baca: memperadabkan) bangsa-bangsa  koloni.

Semua agama asli lokal dimarjinalkan. Sementara Islam meski sama-sama ‘agama samawiyah’ (monotheisme) dari Nabi Ibrahim AS, yang di wilayah koloni notabene berstatus sama ‘agama impor’ pula, diperlakukan sebagai pesaing yang harus dijinakkan.

Apalagi secara kebetulan, Islam agama yang dianut mayoritas pedagang pesaing bebuyutan Eropa sejak era perdagangan global semasa ‘jalur sutra’. Saking kemaruk pun nama-nama asli tradisi bangsa di koloni pun dicampakkan dan diseragamkan sesuai tradisi kenasranian nama Eropa.

Jomo memang tidak bicara tentang peristiwa pembakaran mesjid di Kabupaten Tolikara, Papua. Tapi hakikat pesan pembebas Kenya yang wafat pada 22 Agustus 1978 di Mombasa ini, mengingatkan kita pada wasiat Soekarno, bahwa kolonialisme belum lagi mati. Kolonialisme bermetamorfosa jadi Nekolim (Neo Kolonialisme Imperialisme) dengan mengubah slogan 3G jadi tiga wacana modern EDHR, Enviromentalisme, Demokrasi, dan Human Right.

Namun tetap dengan pola lama: politik adu domba alias devide et impera. 

Artikel ini ditulis oleh: