Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK)
Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK)

Jakarta, aktual.com – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia, Jusuf Kalla (JK), tiba-tiba menyuarakan perihal sumber daya alam Indonesia, terutama nikel. Ia mengungkapkan bahwa banyak sumber daya alam Indonesia dieksploitasi oleh negara lain, termasuk China.

JK menyoroti perlunya Indonesia memiliki keyakinan diri dan semangat untuk bersaing dalam penguasaan teknologi. Dalam forum Economix FISIP UI pada Selasa (28/11/23), ia menekankan bahwa Indonesia seringkali kurang percaya diri dan cenderung merendahkan diri sendiri, terutama terkait dengan nikel.

JK mengatakan bahwa sekitar 90% produksi nikel Indonesia dikuasai oleh China, karena China memiliki pandangan bahwa teknologi adalah kepemilikannya. JK menyatakan bahwa Indonesia perlu mengatasi rendahnya harga diri dan meyakini bahwa negara ini mampu menguasai teknologi.

“Kenapa kita selalu tidak percaya diri, kita bicara banyak hal, kita bicara nikel, 90% nikel ini dikuasai China karena mereka selalu menganggap teknologi adalah mereka. Kita selalu harga diri rendah, seakan-akan tidak bisa menguasai teknologi,” katanya dalam Economix FISIP UI, dikutip Selasa (28/11/23).

Meskipun begitu, lanjutnya, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang cukup melimpah untuk dapat bersaing dengan banyak negara lain. Indonesia juga memiliki kemampuan untuk mengelola teknologi, khususnya dalam proses pengolahan dan pemurnian bijih mineral di smelter.

Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa Indonesia berencana mengoperasikan sebanyak 116 smelter dalam beberapa tahun ke depan. Angka ini mencakup smelter yang sudah beroperasi, sedang dalam tahap konstruksi, dan direncanakan untuk dibangun.

“Perusahaan itu membuktikan bahwa semua bisa dilaksanakan dengan teknologi dan kita bisa menguasai teknologi itu, smelter, apapun, listrik apa pun bisa kita kuasai,” kata JK

JK pun kembali menegaskan perlunya kepercayaan diri dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.

“Kemajuan itu hanya bisa selama kita punya pengaruh politik dan penguasaan teknologi. Sekaya apapun negeri, selama Anda nggak menguasai teknologi, maka kita akan dijajah oleh negara yang kuasai teknologi dan kemampuan modal, dan percaya diri, tanpa itu tidak akan terjadi,” ujar JK.

Pemberitaan mengenai eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia oleh negara asing bukan merupakan peristiwa yang baru. Sebelumnya, Faisal Basri, seorang Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengungkapkan bahwa manfaat dari program hilirisasi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru dinikmati oleh industri China.

Faisal juga mencatat bahwa dalam konteks hilirisasi pada komoditas nikel di Indonesia, di mana bijih nikel diolah menjadi produk turunan seperti Nickel Pig Iron (NPI) dan fero nikel, sekitar 99% dari produk tersebut diekspor ke China.

“Kalau hilirisasi sekedar dari bijih nikel jadi NPI atau jadi fero nikel. NPI dan fero nikel 99% diekspor ke China jadi hilirisasi Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China itu dia, luar biasa,” ujar Faisal.

Meskipun demikian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) telah memberikan klarifikasi terhadap klaim tersebut.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, sebelumnya menjelaskan bahwa Indonesia memperoleh nilai tambah dari proses hilirisasi nikel sebesar 53%.

Penjelasannya mencakup perhitungan bahwa dari total nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40%, investor dapat menikmati 12% dari laba operasional, dan 48% merupakan tambahan sumber daya yang dikeluarkan untuk pengolahan bijih nikel tersebut.

“Dari 48% angka tersebut, 32% dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batu bara (untuk listrik), tenaga kerja, dan bahan baku lain. Sehingga hanya 16% yang dinikmati oleh pihak supplier dari luar negeri,” paparnya.

Menurut perhitungan tersebut, nilai tambah yang diperoleh oleh pihak asing (investor dan pemasok) adalah sebesar 16%, ditambah dengan komponen laba operasional sebesar 12%, sehingga jumlahnya menjadi 28%.

“Sehingga, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32% atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53% (32% dibagi 32%+12%+16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel. Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, tidak lagi mendapatkan tax holiday atau bahkan ada keterlibatan investor lokal,” tandasnya.

Dengan begitu, Seto menilai bahwa angka yang dipaparkan olehnya lebih akurat dibandngkan data yang dipaparkan oleh Faisal. “Meskipun angka saya di atas adalah estimasi, tapi saya cukup yakin angka saya lebih akurat dibandingkan klaim Faisal Basri yang menyebutkan hanya 10% nilai tambah di dalam negeri yang dinikmati dari hilirisasi nikel ini,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain