“Membantu Pertamina berarti membantu negara. Membantu Pertamina bukan berarti harus selalu yes man atas langkah orang-orang Pertamina. Harus ada usaha agar strategi pengelolaan pertamina untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalau Pertamina dijualin…. ya jangan!!!”
Kalimat di atas pernah menjadi paragraf pembuka dari sebuah artikel Tatap Redaksi Aktual.com dengan judul “Save Pertamina, Selamatkan Negara“. Sebuah nasihat yang diucapkan oleh Mantan Anggota Dewan Energi Nasional yang juga merupakan Guru Besar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Mukhtasor kepada Redaksi Aktual.com. Beliau juga adalah Dosen Program Studi Ketahananan Energi Universitas Pertahanan.
Pada Tatap Redaksi Aktual.com ingin melanjutkan mengapa Pertamina harus kita lindungi, dan apa pengaruhnya jika Pertamina sampai tergadaikan oleh kepentingan kelompok tertentu, yang katanya untuk kemajuan Pertamina, tapi nampaknya justru malah merugikan rakyat. Karena Pertamina adalah aset berharga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedikit mengulas sejarah, bahwa Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Berdiri sejak 10 Desember 1957 dengan nama PT PERMINA. Pada tahun 1961 perusahaan ini berganti nama menjadi PN PERMINA dan setelah merger dengan PN PERTAMIN di tahun 1968 namanya berubah menjadi PN PERTAMINA. Dengan bergulirnya UU No.8 Tahun 1971 sebutan perusahaan menjadi Pertamina.
Sebutan ini tetap dipakai setelah Pertamina berubah status hukumnya menjadi PT. Pertamina (Persero) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sejak menjadi PT. Pertamina (Persero) tahun 2003 sampai sekarang Struktur Organisasi PT. Pertamina (Persero) beberapa kali mengalami perubahan.
Perubahan Struktur Organisasi yang signifikan terjadi pada Pertengahan Tahun 2020. Lewat Salinan Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020, tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina tertanggal 12 Juni 2020, pemerintah menetapkan struktur organisasi Direksi yang semula 11 orang menjadi 6 orang.
Sedangkan Direktorat Operasional yang sebelumnya ada di Pertamina masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream (PT. Pertamina Hulu Energi), Subholding Refinery & Petrochemical (PT. Kilang Pertamina Indonesia), Subholding Commercial & Trading (PT. Pertamina Patra Niaga), Subholding Power & New and Renewable Energi (PT. Pertamina Geothermal Energy), serta Shipping Company (PT. Pertamina International Shipping).
Semua subholding tersebut akan menjalankan bisnis bersama dengan Subholding Gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah Pertamina melalui PT. Perusahaan Gas Negara Tbk sejak 2018.
Penetapan subholding tersebut tertuang dalam Surat Keputusan yang ditandatangani Dirut Pertamina, Nicke Widyawati pada tanggal 12 Juni 2020 dengan No.Kpts-18 /C00000/2020-SO. Surat tersebut dikeluarkan pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diadakan di Kementerian BUMN Jumat pagi (12/6/2020) di Jakarta.
Terbentuknya Holding Subholding dan Rencana akan dilakukannya IPO terhadap 5 Anak Usaha Inti Pertamina, apalagi 3 dari 5 Anak Usaha Inti Pertamina tersebut yakni PT. Pertamina Geothermal Energy, PT. Pertamina Hulu Energi, dan PT. Pertamina International Shipping adalah anak usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga rencana ini akan menimbulkan beberapa kekhawatiran.
Sedikitnya ada 7 kekhawatiran yang akan ditimbulkan jika Holding-Subholding ini direalisasikan, dengan dilakukannya IPO anak usaha Pertamina. Kekhawatiran yang dimaksud yakni:
Pertama, berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d), bahwa “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;” bunyi pasal 77 huruf (c). “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi,” bunyi pasal 77 huruf (d).
Kedua, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
Keempat, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.
Kelima, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
Keenam, hilangnya Previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO.
Terakhir, mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan.
Untuk itu perlu dipertimbangkan kembali Holding-Subholding dan IPO anak usaha Pertamina ini. Marilah para stakeholder saat ini mampu untuk berpikir sejak tentang cita-cita para pendiri bangsa ketika mendirikan Pertamina. Jangan sampai karena keserakahan segelintir orang yang memimpin negeri ini, menjadikannya lupa dan mengkhianati akan cita-cita para Founding Fathers yang telah mencetuskan konsep Pasal 33 UUD 1945.