Jakarta, Aktual.com — Perdagangan manusia masih menjadi kasus yang paling dominan dihadapi Tenaga Kerja Wanita asal Indonesia, khsusunya Cianjur yang menjadi kantung TKW Jawa barat. Ragam kasus tersebut banyak ditemui, salah satu yang memicu terjadinya perdagangan manusia adanya pemalsuan data.

“Pemalsuan-pemalsuan itu biasanya terjadi pada pemberangkatan TKW non-prosedural. Tidak jarang juga TKW yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) datang menggunakan visa umroh, mereka pergi ke Arab Saudi karena ada moratorium PRT sudah tidak boleh lagi ke Arab, jadinya lewat umroh,” kata Wakil Sekjen Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Untung Riyadi, di Cianjur, Jumat (21/8).

Dia menjelaskan, kasus dominan kedua setelah perdagangan manusia adalah force labour atau kerja paksa, dimana kerja paksa berkaitan erat dengan jalur keberangkatan TKW yang non-prosedural. “Ada juga kasus, dimana satu PRT punya dua majikan, mereka disuruh bekerja melebihi batas kemampuan,” ujar dia.

Untuk mengantisipasi terjadinya perdagangan manusia dan kerja paksa terhadap TKW, KSPSI menekankan agar TKW sadar berserikat, dimana dalam serikat, tutur dia, KSPSI khususnya, TKW diberi penyuluhan agar mengenal baik mana penyalur resmi maupun ilegal.

“Mudah kok mengenali yang resmi atau ilegal, TKW berhak menanyakan surat pengerahan dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten/Kota setempat, serta TKW berhak menanyakan surat permintaan dari Agen di luar negeri. Kalau penyalur tidak bisa menunjukkan, berarti itu ilegal,” katanya.

Selama ini ujar dia, KSPSI Rekonsiliasi memiliki sikap bahwa apapun bentuknya, pemberangkatan pekerja migran non-prosedural adalah human trafficking yang akibatnya sangat berbahaya. Dia mencontohkan ke Arab Saudi, moratorium masuknya TKW sebagai tenaga kerja domestik (PRT) masih berlaku, namun masih ada oknum yang menyelundupkan TKW ke negara tersebut.

Namun, ujar dia jika sudah terlanjur pemerintah melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlilndungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang harus bertanggung jawab. Lemabaga tersebut harus memperketat pengawasan imigrasi dan peningkatan pencegahan.

“Kami melihat BNP2TKI baru bekerja pada penempatan tenaga kerja saja, sementara perlindungannya belum maksimal. Masih banyak PRT Migran bekerja tanpa kontrak, tanpa batas waktu, tanpa istirahat dan tidak mendapat waktu untuk berlibur, disitu, perlindungan terhadap TKW belum cukup maksimal,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu