Penegakan hukum dalam kasus pembakaran hutan dan lahan, sepertinya akan sulit dalam mengungkap aktor besarnya. Polisi sebagai penegak hukum pun tampaknya tebang pilih dalam pengungkapan kasus ini, berani dalam membasmi pemain kecil namun sungkan melawan pemain besar. Sebagai contoh dengan terbitnya SP3 terhadap 15 perusahaan, namun polisi memproses hukum terhadap pelaku individu.
Jika melihat peristiwa hukumnya, pembakaran hutan dan lahan oleh individu maupun korporasi terjadi di lokasi yang sama, tetapi perlakuan penegak hukum berbeda. Polisi sangat kontras dalam menangani kasus yang sama. Beberapa pakar yang dimintai keterangan polisi menyatakan ada pembakaran. Namun, polisi melepaskan 15 perusahaan dengan dalih lahan dalam kondisi sengketa, sehingga tidak jelas pihak yang bertanggung jawab.
“Kalau di lahan sengketa ada pembunuhan, apakah polisi tidak bisa melakukan apa-apa. Ini pidana kebakaran di lokasi sengketa, tapi polisi bukan meminta bukti dari kejahatan pidananya, tapi minta sertifikatnya. Nalar polisi keluar dari jalur logika pertanggungjawaban pidana,” kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani.
Pemberian SP3 kepada 15 perusahaan dinilai sebagai sebuah kemunduran serius dari komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam mereformasi tata kelola hutan di Indonesia. Konsesi tak terbatas pada perusahaan-perusahan kayu dan industri telah menjadikan korporasi sebagai aktor dominan dalam menentukan kebijakan tata kelola termasuk kemungkinan mempengaruhi berbagai proses penegakan hukum lingkungan.
Oleh: Arbie Marwan
[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FFanzine-210818_Kebakaran-Hutan-dan-Lahan-Terjadi-Lagi-Kapan-Berani-Diungkap.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]