Kebijakan pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi topik perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pemerhati kebijakan publik. Dengan dalih meningkatkan akses perumahan bagi masyarakat, pemerintah meluncurkan program ini sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia. Namun, tidak sedikit pihak yang mengkritik kebijakan ini menilai bahwa pemerintah seringkali menggunakan nama “kepentingan rakyat” untuk melegitimasi kebijakan yang sebenarnya tidak sepenuhnya menguntungkan bagi masyarakat.
Tapera, yang dimaksudkan sebagai tabungan wajib bagi pekerja untuk memperoleh dana perumahan di masa depan, pada dasarnya memiliki niat yang baik. Namun, pelaksanaan dan pengelolaannya menimbulkan berbagai pertanyaan. Pertama, ada kekhawatiran bahwa dana yang terkumpul dari program ini tidak akan dikelola dengan transparan dan akuntabel. Pengalaman buruk dengan beberapa program pemerintah sebelumnya menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan ini.
Selain itu, program ini juga dinilai memberatkan bagi sebagian besar pekerja, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Kewajiban memotong 2,5% gaji oleh perusahaan ke dalam tabungan perumahan dapat menambah beban finansial, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19. Bagi banyak pekerja, kebutuhan sehari-hari masih menjadi prioritas utama dibandingkan menabung untuk masa depan yang tidak pasti.
Kritik lainnya datang dari para pengusaha yang merasa bahwa kebijakan ini menambah beban operasional mereka. Dengan adanya kewajiban 0,5% yang dibebankan kepada perusahaan untuk menyetorkan dana Tapera bagi setiap pekerja, pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan yang pada akhirnya dapat mengurangi daya saing mereka. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak negatif terhadap penciptaan lapangan kerja dan stabilitas ekonomi nasional.
Kebijakan Tapera juga dianggap kurang mempertimbangkan situasi riil di lapangan. Misalnya, tidak semua pekerja memiliki kebutuhan mendesak akan perumahan. Bagi mereka yang sudah memiliki tempat tinggal sendiri, kebijakan ini terasa tidak relevan dan lebih mirip dengan pemaksaan. Pemerintah perlu lebih fleksibel dalam merancang kebijakan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan Tapera ini. Pelibatan berbagai pihak, termasuk pekerja, pengusaha, dan ahli perumahan, dalam proses evaluasi dan penyusunan kebijakan yang lebih komprehensif dan inklusif, sangat diperlukan. Transparansi dalam pengelolaan dana dan mekanisme yang jelas mengenai bagaimana dana tersebut akan digunakan juga harus menjadi prioritas utama.
Tidak bisa dipungkiri bahwa niat baik pemerintah dalam menyediakan perumahan bagi masyarakat adalah hal yang patut diapresiasi. Namun, kebijakan yang diambil haruslah benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan hanya sekadar atas nama rakyat. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diimplementasikan tidak hanya baik secara teori, tetapi juga membawa manfaat nyata dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
(Redaksi Aktual)