Menteri Keuangan Sri Mulyani mendengarkan pertanyaan saat paparan realisasi pelaksanaan APBNP 2016 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (3/1). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 tumbuh lima persen, lebih rendah dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar 5,2 persen. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/foc/17.

Jakarta, Aktual.com – Polemik ‘kado’ awal tahun pemerintahan Jokowi-JK melalui penaikan harga dari listrik, BBM hingga tarif pengurusan STNK dan BPKB, menuai kritik publik.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa rakyat tidak akan mengkritik pemerintah bila berjalan dengan baik, seperti yang terjadi di sosial media maupun media mainstream sekalipun.

Dengan sikap pemerintah yang seperti ini, dinilai wajar jika rakyat kemudian menjerit karena kondisi kehidupan bukan membaik tapi malah serasa tersiksa.

“Kenyataannya pemerintah sekarang seperti tidak punya arah. Nama-nama besar di kabinet yang dikatakan orang terbaik seperti Sri Mulyani saja seperti (orang) bingung,” kata Asep, di Jakarta, Senin (9/1).

Padahal, sambung dia, nama sehebat Sri Mulyani yang pernah menduduki posisi direktur pelaksana Bank Dunia seharusnya mengeluarkan solusi yang tidak membebani rakyat, bukan hanya sekedar mampu memotong maupun menaikan pajak saja.

“Dimana terbaiknya kalau sekedar memotong anggaran,menaikan pajak dan lain-lain? Kita mau orang terbaik seperti Sri Mulyani itu mencari solusi yang tidak membebani rakyat. Kalau caranya seperti ini, maka anak sekolah juga bisa jadi menteri keuangan,” ujar dia.

Oleh karena itu, masih kata Asep, rakyat ingin pemerintah menguasai substansi permasalahan dan agar pemerintah menguatkan konsolidasi. Pemerintah sebaiknya tidak berbicara akibat, tapi bagaimana mencegah penyebab untuk mengurangi resikonya. Pemerintah harus bisa menciptakan kembali harapan karena sekarang rakyat sudah kehilangan harapan.

“Orang banyak mengkritik, sosial media ramai, kaum nasionalis teriak dan sebagainya itu kan akibat, sehingga harus ditangkap-tangkapi semua dengan tuduhan makar. Tapi harus mencari penyebabnya untuk mengurangi resiko,”

“Sebabnya itu seperti pemerintah tidak efektif, tidak konsisten, tidak taat aturan dan sebagainya. Berbagai kebijakan juga tidak efektif, pembentukan tim saber pungli, pembangunan kereta cepat, apa efeknya? Ini harusnya jadi pemikiran serius,” pungkasnya.

 

Laporan: Novrizal

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Novrizal Sikumbang