Seorang teknisi melakukan perawatan rutin menara PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, di Kampus Dharma Persada Jakarta, Rabu (2/11). Seiring tingginya akses data komunikasi 4G, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk terus melakukan ekspansi bisnisnya yang per Juni 2016 telah memiliki total 13 ribu sites terdiri berbagai tipe menara dan akan menargetkan tambahan 2000 tower pada tahun ini. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Revisi PP Nomor 52 dan PP Nomor 53 tahun 2000 sudah dirapatkan di tingkatan Kementerian Koordinator Perekonomian. Diklaim pihak Kemenko, semua kementerian terkait sudah menyetujuinya. Dan saat ini posisinya di Kementerian Sekretaris Kabinet.

Kabiro Hukum dan Humas Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi mengklaim, kebijakan network sharing misalkan itu di daerah yang banyak jaringan (BTS) milik BUMN telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya PT Telkomsel, maka network sharing-nya tak semau-maunya. Jadi perhitungannya itu harus transparan dan adil.

“Makanya tidak seenaknya atau gratis. Kita rapat di Kemenko sudah setuju semua. Karena kita yakin Telkom tetap untung. Kalau rugi tidak mungkin akan digulirkan kebijakan ini. Di tingkat Kemenko sudah dipertimbangkan,” tandas Elen dalam diskusi Konektivitas Telekomunikasi, di Jakarta, Selasa (29/11).

Dia sendiri menegaskan, dalam konteks network sharing ini, terutama di PP Nomor 52, ada dua model yaitu mandatory atau kewajiban dan skema business to business (B to B). Cuma sayangnya, kebijakan mandatory ini nantinya akan diatur lagi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

“Kriteria itu yang mandatory itu adalah seperti efisiensi, persaingan usaha yang sehat, dan ada UU yang membatasinya. Jika memenuhi kriteria itu, maka Kominfo yang akan menentukan daerah mana yang akan memenuhi sharing mandatory dan tidak atau masuk B to B,” papar dia.

Kendati disebutkan Elen bahwa kebijakan revisi ini tak akan merugian Telkom, namun jika dilihat draft-nya sepertinya berpotensi melemahkan kinerja Telkom sendiri. Seperti dalam pengaturan network sharing dalam hal-hal tertentu yang terdiri dari tiga hal. Pertama, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membuka dan menyediakan kelengkapan jaringan transmisi miliknya untu dipakai dan dimanfaakatan secara bersama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lain dan/atau penyelenggaran jasa telekomunikasi.

Kedua, dalam keadaan tertentu didasarkan pada: penciptaan persaingan usaha yang sehat antar penyelenggara jaringan dan/atau jasa telekomunikas; kemudian, pencapaian efisiensi penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi kepada masyarakat; juga perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi kepada masyarakat; serta adanya ketentuan peraturan per-UU-an yang membatasi pembangunan kelengkapan jaringan transmisi.

Kemudian ketiga, terkait penyediaan kelengkapan jaringan transmisi dilakukan dengan syarat: terbuka, transparan, dan non diskriminasi; juga keadilan yang memperhitungkan biaya pembangunan (investasi) yang telah dilaksanakan.

“Serta adanya hal yang menunjuk penilai independen dalam rangka perhitungan biaya pembangunan yang telah dilaksanakan itu,” tegas dia.

Di tempat yang sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, malah mengklaim revisi PP 52/2000 dilakukan agar pembagian peran antar penyelenggaraan jaringan telekomunikasi lebih sinergis.

“Sedangkan revisi PP 53/2000 agar penggunaan spektrum frekuensi dapat dapat mendukung program pembangunan akses pita lebar nasional secara maksimal,” cetus Menkominfo.

Sejauh ini, berdasar data Katadata, jumlah kepemililan infrastruktur jaringan (BTS) pada 2015 lalu memang psking banyak dimiliki oleh Telkomsel sebanyak 103.289 unit. Disusul XL yang memiliki 58.879 unit, Indosat ada 50.687 unit, Trikomsel sebanyak 39.054 unit dan Smartfren sebanyak 9.025 unit hanya untuk jaringan 4G LTE.

Dengan kebijakan ini, maka praktik network sharing memang akan lebih banyak menggunakan jaringan milik Telkom dan Telkomsel. Karena jaringan mereka tentu yang lebih banyak tersebar di pelosok negeri, termasuk di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka