Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harusnya ikut bergabung dengan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang berisi sejumlah LSM dan nelayan pesisir Teluk Jakarta menggugat izin reklamasi Teluk Jakarta di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Pengamat lingkungan perkotaan Ubadillah mengatakan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta sedang berjuang di persidangan menggugat empat izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di tahun 2014-2015.

“Melihat sejarah perjalanan proyek reklamasi sebelumnya dan perkembangannya, hendaknya pemerintah pusat, KLHK, turut melakukan intervensi hukum dengan memposisikan sebagai penggugat intervensi terhadap gugatan yang dilakukan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta,” ujar dia, kepada Aktual, di Jakarta, Selasa (17/5).

Menurut Ubadillah, langkah itu guna mempertegas keberpihakan KLHK, apakah berpihak terhadap lingkungan dan masyarakat yang alami dampak proyek triliunan itu, atau berdiri di pihak pengembang yang dibela pemerintah.

“Selain karena faktor sejarah kesamaan visi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang pernah menjadi tergugat intervensi sebagai bentuk dukungan kepada KLH pada 2003 digugat pengembang reklamasi,” ujar dia mengingatkan.

Kementerian Lingkungan Hidup sekarang, menurut dia perlu belajar dari sejarah gugatan terhadap pengembang reklamasi Teluk Jakarta yang pernah dilakukan di tahun 2003 silam.

Dimana saat itu KLHK berperan aktif menolak megaproyek pembangunan pulau buatan di pesisir ibukota. Tercermin dari terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) No. 14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantura Jakarta.

“Dengan kata lain, izin kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diterbitkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak menjawab semua persoalan lingkungan alias tidak layak amdal,” ujar dia.

Apalagi megaproyek tersebut berada di wilayah strategis nasional dan menyangkut tiga Provinsi, yakni DKI, Jawa Barat dan Banten. Karenanya, KLH berkeyakinan reklamasi Teluk Jakarta menjadi wewenang pusat.

Pada perjalanannya, Kepmen LH No. 14/2003 kemudian digugat pengembang yang didukung Pemprov DKI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan dengan nomor perkara 75/G.TUN/ 2003/PTUN-JKT itu akhirnya dimenangkan pengembang, baik di tingkat pertama maupun kedua.

Tak patah arang, KLH bersama sejumlah organisasi non-pemerintahan yang menjadi tergugat intervensi kemudian ajukan banding. Hasilnya, Mahkamah Agung (MA) memenangkan KLH.

“Dalam putusannya MA menilai bahwa reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta tidak layak atau ilegal,” beber eks direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI ini.

Meskipun di 2011, upaya hukum permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan pengembang akhirnya mengubah keberpihakan MA dengan mengabulkan permohonan melalui putusan PK No. 12 PK/TUN/2011.

 

Artikel ini ditulis oleh: