Selain mengancam para remaja, harga rokok yang terjangkau juga mengancam kesejahteraan keluarga miskin. Studi yang dilakukan oleh Dartanto dkk. pada tahun 2018 dengan mengeksplorasi data Indonesia Family Life Survey (IFLS), menunjukkan bahwa konsumsi rokok berhubungan secara signifikan dengan kemiskinan, stunting pada balita, dan tingkat kecerdasan anak yang rendah.
Selanjutnya Pusat Kajian Jaminan Sosial-Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Dartanto dkk. melakukan studi kasus pada bulan Juli tahun 2019 terhadap keluarga dengan balita stunting di Kabupaten Demak dimana terbukti adanya kebutuhan makanan bernutrisi yang tidak terpenuhi akibat konsumsi rokok orang tua.
Studi kasus yang dilakukan di Demak membuktikan adanya shifting kebutuhan penting untuk belanja rokok, sehingga anak mengalami stunting. Hal ini membuktikan bahwa perilaku merokok dapat menghambat pembangunan SDM dari berbagai aspek seperti kesehatan, pendidikan, dan sosio-ekonomi pada generasi selanjutnya.
Di sisi lain, pemerintah juga telah melakukan upaya pengentasan kemiskinan dan bantuan pendidikan serta kesehatan melalui program bantuan sosial (bansos). Ironisnya, perilaku merokok masih banyak ditemukan pada keluarga penerima dana bansos.
Menurut studi PKJS-UI tahun 2019 terhadap perilaku merokok pada keluarga miskin penerima dana bansos, konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) pada keluarga tersebut lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos.
Keluarga penerima Program Keluarga Harapan atau PKH membelanjakan Rp3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi dibandingkan keluarga yang bukan penerima PKH.
Pada dasarnya bantuan sosial merupakan program dengan tujuan yang bagus, namun kurang efektif akibat perilaku merokok keluarga penerima program.
Artikel ini ditulis oleh: