Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh PKJS-UI kepada keluarga penerima bansos di Kota Malang dan Kabupaten Kediri, dalam kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, mereka tetap menghabiskan sebagian pendapatannya untuk belanja rokok hingga dua bungkus per hari.

Bahkan keluarga penerima dana bantuan sosial masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak karena anggaran untuk belanja rokok menghabiskan hampir setengah dari kebutuhan sehari-hari.

Hal ini sekali lagi membuktikan harga rokok masih terjangkau bagi kelompok masyarakat miskin. Sehingga rokok memang harus mahal jika ingin kesejahteraan masyarakat meningkat.

Dukungan kebijakan kenaikan cukai rokok juga diberikan oleh masyarakat Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh PKJS-UI pada tahun 2018 terhadap 1.000 orang responden menunjukkan 88 persen masyarakat mendukung harga rokok naik, bahkan 80,45 persen perokok sendiri setuju jika harga rokok naik.

Semakin tinggi harga rokok, jumlah konsumsi rokok akan semakin turun. Studi tersebut juga mengungkap bahwa 74 persen perokok mengaku akan berhenti merokok apabila harga mencapai Rp70.000 per bungkus.

Artinya, kenaikan cukai rokok harus signifikan membuat harga rokok menjadi lebih mahal. Apabila konsumsi rokok ingin dapat dikendalikan secara optimal, maka harga rokok juga harus naik hingga optimal pula agar anak-anak di bawah umur dan masyarakat miskin tidak mudah menjangkau.

Di sisi lain, masyarakat miskin dan anak di bawah umur masih memiliki pilihan merek rokok dengan harga lebih murah apabila harga merek rokok yang biasa mereka konsumsi naik.

Artikel ini ditulis oleh: