Jakarta, Aktual.com Center of Human and Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan mengatakan kenaikan cukai dan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok tidak akan efektif atau bermanfaat tanpa adanya regulasi terkait larangan penjualan rokok batangan.

“Kenaikan cukai dan HTP rokok akan kurang efektif, jika masyarakat masih dapat membeli rokok secara batangan. Maka pelarangan penjualan rokok batangan akan mengakselerasi efektifitas kebijakan tersebut dalam menurunkan prevalensi rokok di Indonesia,” kata Anggota Tim Peneliti CHED Diyah Hesti Kusumawardani dalam seminar “Manfaat Kenaikan Pajak dan Harga Tembakau, Telaah Sistematis” yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (14/3).

Diyah menuturkan regulasi pelarangan penjualan rokok batangan menjadi salah satu sorotan penting yang dianalisis dari sudut manfaat kenaikan cukai hasil tembakau dan HTP.

Dalam penelitian itu diketahui bila pemerintah sudah menaikkan cukai tembakau dan Harga Jual Eceran (HJE) tembakau sejak tahun 2012 hingga 2024, kecuali pada tahun 2014 dan 2019 saat pemilu.

Sayangnya, jumlah perokok di Indonesia meningkat dari tahun 1990 hingga tahun 2019 menjadi 25 sampai 50 persen.

Hal ini membuktikan kenaikan cukai yang diharapkan dapat mengurangi perdagangan gelap, tidak berarti menghilangkan perdagangan gelap itu sendiri.

“Salah satu kerugian dari kenaikan pajak dan harga tembakau adalah munculnya rokok ilegal yang berakibat pada peralihan ke produk rokok ilegal dan substitusi yang lebih murah,” ujar dia.

Padahal larangan penjualan rokok secara batangan telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan distribusinya harus dibatasi.

Diyah menilai larangan tersebut bisa mengimbangi kenaikan cukai rokok hasil tembakau dan HTP rokok yang mempunyai manfaat untuk menaikkan harga rokok yang selanjutnya menghasilkan penurunan prevalensi merokok dan peningkatan kemungkinan berhenti merokok.

Kenaikan pajak yang menaikkan harga rokok juga menghasilkan manfaat sosial yang signifikan dengan mengurangi pengeluaran tembakau dan biaya pengobatan untuk penyakit terkait tembakau dan meningkatkan masa hidup dan net benefit economic di masa depan.

Keuntungan paling signifikan dari kenaikan harga rokok yang substansial akan dinikmati oleh 20 persen penduduk berpendapatan rendah. Meskipun Indonesia masih inelastis terhadap kenaikan harga rokok, pemerintah juga telah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10 persen berlaku tahun 2023 dan 2024.

“Pajak tembakau merupakan peluang bagi pemerintah untuk memajukan pemerataan dan menuju pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada penyakit tidak menular, Universal Health Coverage, dan kontaminasi dan polusi air, udara dan tanah,” katanya.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Benget Saragih menambahkan perilaku perokok pemula terus mengalami kenaikan sampai tahun 2019 berada pada 10,70 persen, sedangkan prevalensi perokok dewasa meningkat pada 34,5 persen.

Kenaikan jumlah perokok itu dipicu oleh meningkatnya iklan rokok di media luar ruangan dan internet, serta tidak adanya regulasi mengenai pelarangan penjualan rokok eceran.

“Selama harga rokok masih terjangkau oleh masyarakat dengan pendapat menengah ke bawah maka upaya untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia lebih sulit. Jadi perlu peraturan, termasuk diatur kebijakan harga,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu