Yogyakarta, Aktual.co — Fraksi partai Golkar menyatakan akan menggunakan hak konstitusionalnya yakni hak interpalasi yang dimiliki DPR untuk meminta penjelasan pemerintah Jokowi Jk yang menaikkam harga BBM bersubsidi. 
Hal itu diungkapkan Ketua Fraksi Golkar DPR RI, Ade Komarudin melalui pernyatan sikap resminya disela acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar ke VII yan digelar di Hotel Melia Purosani, Selasa (18/11). 
Fraksi partai Golkar menilai keputusan menaikkan harga BbM bersubsidi tidak tepat karena sulit mencarikan alasan logis secara hitung hitungan ekonomi, mengingat kondisi harga minyak dunia saat ini yang justru menurun hingga 30%. 
Partai Golkar juga menilai semestinya harga premium masih bisa ditekan lagi, sehingga keputusan kenaikan yang dilakukan pemerintah diangap tidak realistis.
“Pemerintah Jokowi Jk telah mengingkari janji kampanyenya. Kenaikan harga BBM subsidi ini sekaligus juga menunjukkan pemerintah Jokowi JK tidak memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat,” katanya.
Lebih lanjut, dalam pernyataan sikap tersebut, partai Golkar juga menilai kenaikan harga BBM menunjukkan pemerintah tidak mmiliki konsep dan perencanaan memadai khusunya terkait ransportasi umum, nelayan, serta usaha mikro kecil dan menengah. 
Terlebih lagi jika melihat Malaysia saat ini justru menurunkan harga BBM. “Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma penetapan harga produksi minyak dengan meningkatkan formulasi MOPS yang syarat dengan permainan mafia migas. Partai golkar sampai saat ini juga belum melihat komitmen nyata serta langkah dan upaya sistimatis pemerintah Jokowi untuk mengatasi subsidi BBM. Seperti belum jelasnya arah kebijakan konversi BBM ke BBG,” jelasnya.
Kenaikan harga BBM juga dianggap akan semakin menyulitkan kondisi rakyat sekaligus memicu laju inflasi. Dimana hal itu tidak sejalan dengan program pemerintah menjaga angka inflasi sekitar 4,4 persen sebagaimana tercantum pada APBN 2015.
“Program pemerintah yang menerbitkan ‘kartu sakti’ sebagai kompensasi kenaikan BBM tidak tepat. Baik dari aspek legalitas maupun tertib anggaran. Sehingga berpotensi melanggar UU APBN,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: