Saudaraku, marilah memungut hikmah dari kisah Malik bin Dinar, seorang sufi Persia, yang menempuh jalan pertobatan nan menggugah.
Bertampang keren dengan harta berlimpah, Malik masih jua punya angan untuk diangkat jadi takmir (pengurus) masjid agung yang baru dibangun Mu’awiyah di Damascus.
Maka ia pun rajin mendatangi masjid itu. Di salah satu pojoknya, ia bentangkan sajadah dan selama setahun terus-menerus beribadah seraya berharap agar setiap orang yang melihatnya shalat tersentuh.
“Alangkah munafiknya engkau ini,” bisik hatinya. Setelah setahun berlalu, bila malam datang, ia keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang. Pada suatu malam, di tengah-tengah keasyikannya bermain musik, tiba-tiba dari kecapi yang dimainkannya seperti terdengar suara: “Malik, mengapalah engkau belum juga bertobat?” Hatinya bergetar, kecapi dilemparkan dan ia bergegas ke masjid.
“Selama setahun penuh aku berpura-pura menyembah Allah,” kata fajar budinya. “Bukankah lebih baik jika kusembah Allah dengan sepenuh hati? Alangkah hinanya beribadah sekadar untuk kedudukan. Bila orang hendak mengangkatku sebagai takmir masjid, aku tak mau menerimanya.” Untuk pertama kalinya malam itu ia shalat dengan khusyuk dan ikhlas.
Keesokan harinya, orang-orang yang berkumpul di masjid seperti baru tersadar. “Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak. Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaikinya.” Mereka bersepakat, Malik-lah orang yang tepat. Menungguinya hingga usai shalat, mereka lantas berkata: “Kami memohon kepadamu, sudilah menerima pengangkatan kami.”
“Ya Allah,” seru Malik, “setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorang pun yang memandangku. Kini, setelah kuserahkan jiwaku pada-Mu dan bertekad tak akan menerima jabatan itu, Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas itu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tak menginginkan pengangkatan atas diriku.”
Kisah ini membersitkan iktibar bahwa ketulusan beribadah kepada Allah memancarkan kepercayaan dalam relasi kemanusiaan. Masalahnya, entah berapa banyak di antara kita yang beribadah sekadar demi dirinya sendiri: bershalat demi tradisi, bangun rumah ibadah demi tutupi korupsi, berhaji demi gengsi, berkhotbah demi mencaci, berzakat demi pamer diri.
Beragama secara posesif, demi modus “memiliki” (to have) bukan modus “menjadi” (to be), hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya, tanpa kesanggupan menggali kedalaman Yang Suci. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.
Tanpa penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability; kesanggupan berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas keragaman dan kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti pada Yang Suci, peribadatan tak akan membawa dampak konstruktif, melainkan destruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Ilahi akan berpura-pura mengabdi kepada kemanusiaan. Orang seperti itu tak pantas dipilih jadi pemimpin dan tak dapat dipercaya memikul amanah.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby