Jakarta, Aktual.com — Dalam sebuah forum di sebuah perguruan tinggi Malaysia, Syaikh Imran Nazar Hosein mengaku bahwa Ahmad Sukarno adalah salah satu orang yang sangat dia kagumi.
Alasannya, Sukarno lah (di samping mantan Presiden Perancis Charles de Gaulle) yang melawan langkah AS untuk menjadikan US Dollar sebagai international reserve currency setelah kesepakatan Bretton Wood pada 1944 ditandatangani.
Dari sudut pandang ilmu Eskatologi (Ilmu yang menganalis soal akhir zaman) Islam yang sudah dia tekuni lebih dari 20 tahun itu, dia yakin bahwa jatuhnya Soekarno dan de Gaulle termasuk kematian Presiden AS John F Kennedy adalah rangkaian peristiwa yang sangat matang direncanakan.
Syaikh Imran sangat yakin, bahkan haqqul yakin, bahwa dibalik peristiwa ketiga Presiden tersebut adalah soal keinginan mereka untuk tetap menjadikan emas dan perak sebagai dasar pertukaran mata uang. Bukan sebuah kertas seperti yang dipaksakan oleh IMF, Federal Reserve dan sekelompok kepentingan dibalik IMF dan Federal Reserve saat itu.
Ya. Sukarno sangat marah karena emas yang disetorkan Indonesia ke IMF sebagai syarat keanggotaan IMF ternyata tidak seperti yang dibayangkan semula. Sekelompok kepentingan (termasuk Federal Reserve) justru memanfaatkannya untuk memperkuat Dollar AS sebagai mata uang dunia.
Charles de Gaulle bahkan meminta AS untuk mengembalikan emas yang sudah disetorkan Perancis sebagai syarat keanggotaan IMF-nya. Dan dia mengirim sebuah kapal khusus ke AS untuk mengambil emas itu.
Yang paling malang adalah Presiden Kennedy yang sempat mendapat dukungan besar dari Sukarno (berupa emas yang sangat besar jumlahnya) saat itu untuk menjadikan perak sebagai standar mata uang Dollar. Bukan kertas.
Dia ditembak setelah beberapa pidatonya di media secara terbuka mengungkap kemarahannya soal agenda keji Federal Reserve dibalik USD Dollar kertas dan ingin menjadikan perak untuk setiap mata uang Dollar. Dia juga marah ke CIA karena CIA menjadi tangan penting dibalik rencana-rencana keji Federal Reserve, IMF dan kelompok kepentingan dibaliknya.
Analisis soal Sukarno, De Gaulle dan Kennedy dengan menggunakan pendekatan metodologi Eskatologi Islam ini ternyata sangat membantu banyak sejarawan untuk membuka beberapa tabir yang sebelumnya masih sangat spekulatif. Soal CIA dibalik G30SPKI misalnya, sampai saat ini banyak sejarawan masih melihat itu adalah soal Komunisme di Indonesia. Ada juga yang mengatakan itu soal kepentingan AS di Papua. Atau analisis soal kepentingan AS yang mulai terganggu soal visi Non Blok Sukarno di balik konferensi Asia Afrika.
Syaikh Imran juga seolah membuka pintu baru untuk bagi penelitian selanjutnya soal masalah-masalah besar yang terjadi di dunia saat ini. Pun termasuk analisis soal ISIS, Crimea, Suriah sampai isu besar soal Pax Judaika.
Lalu siapa Syaikh Imran Hosein ini?
Imran Hosein kecil dilahirkan di Trinidad pada 1942. Kedua orangtuanya adalah imigran dari India.
Setelah lulus dari Aleemiyah Institute of Islamic Studies di Karachi Pakistan, dia mulai melakukan pengembaraan intelektualnya. Dia pernah tinggal di New York selama 10 tahun dan sempat menjabat sebagai Director of Islamic Studies for the Joint Committee of Muslim Organizations of Greater New York.
Dia juga mengajar di beberapa universitas di beberapa tempat di AS. Dia bahkan memberi pengajaran soal Islam di beberapa gereja dan sinagog. Dia juga membuka ruang untuk berdiskusi dengan pemeluk agama Kristiani dan Yahudi.
Dia lah yang memulai dengan serius untuk memperkenalkan secara ilmiah sebuah pendekatan dan metodologi baru dalam khazanah Ilmu Keislaman: Eskatologi Islam. Beberapa buku penting sudah ditulisnya. Salah satu yang jadi masterpiece adalah buku berjudul “Jerusalem in the Qur’an.”
Menurutnya, inti dari seluruh isu ekonomi, politik, budaya sampai geopolitik yang terjadi saat ini semua bermuara di tiga isu besar yakni soal Antichrist (Dajjal), Imam Mahdi dan turunnya Isa al Masih ke dunia.
Murid tersayang Syaikh Prof Fazlur Rahman al Anshari ini sangat yakin bahwa semua permasalahan global saat ini intinya adalah keinginan sebuah kelompok yang sering disebut Zionis (Antichrist/Dajjal) untuk menguasai secara penuh Masjidil Aqsa di Jerusallem sebagai kota suci pemeluk agama Yahudi. Dan mereka akan menjadikan negara-negara di sekitarnya seperti Libya, Irak, Iran, Suriah dll sebagai bagian dari kekuasaan negara Israel dalam sebuah kelompok Negara Persemakmuran Yahudi (Pax Judaika). “Israel ingin membentuk negara seperti Uni Soviet sebelum terpecah seperti sekarang,” katanya.
Dengan analisnya yang sangat tajam, dia mampu menjelaskan dengan sangat sederhana dan gamblang soal mengapa umat Islam, Kristiani dan Budha untuk tidak terpancing oleh agenda-egenda adu domba hanya untuk memuluskan keinginan kelompok Zionis untuk membentuk Negara Persemakmuran Yahudi (Pax Judaika).
Soal Sunni versus Syiah yang terus didorong oleh kelompok Zionis (termasuk AS) misalnya. Dia mengatakan, picu awal dari agenda tersebut adalah ketika AS mendorong Irak (Sadam Hussein) untuk perang melawan Iran. “Tapi mereka gagal. Perang itu tak bisa jadi picu membesarnya konflik antara Sunni-Syiah. Sekarang mereka memulainya lagi lewat ISIS,” katanya.
Soal isu sufisme dan salafi di lain pihak misalnya. Ada kekuatan dana yang sangat tak terbatas untuk mendorong agar umat Islam terpecah sebagaimana skenario melemahkan kekuatan Katholik dengan mengembangkan dan mendorong Kristen Protestan untuk besar.
Cara pandang baru yang ditawarkan Syaikh Imran untuk melihat realitas global saat ini mendapat sambutan dari banyak ilmuwan Islam bahkan dari ilmuwan Kristiani. Rupanya ada hal menarik yang ditawarkan Syaikh Imran untuk seluruh ilmuwan di dunia. Bahwa dia tidak ingin berdebat. Dalam banyak pertemuan dan diskusinya, dia justru membuka diri untuk menambah dan memperkaya ilmu Eskatologi bukan hanya dari sisi Islam tapi dari sisi agama lainnya.
Memang sampai saat ini, eskatologi Islam hanya bicara secara global dan makro. Harus ada sisi lain yang bicara soal data yang lebih mikro dan fokus. Misalnya bagaimana pendekatan Eskatologi Islam menjelaskan hancurnya perekonomian Yunani. Dan bicara data-data ekonomi dan bagaimana cara kekuatan tertentu mampu membuat krisis perekonomian di Yunani yang ternyata ujungnya adalah kepentingan negara Israel juga.
Upaya dan langkah besar Syaikh Imran Nazar Hosein ini harus diapresiasi. Ingat, Syaikh Imran bukan bicara soal Islam ketika dia membuka diri untuk berdialog dengan umat non Islam. Syaikh Imran sebenarnya bicara soal peradaban. Soal bagaimana umat manusia yang tinggal di bumi ini memandang dan menyikapi segala persolan yang ada di dunia ini untuk menjadi baik dan beradab. Itu pesan pentingnya.
(Faizal Rizki Arief)