DR (H.C) KH Maruf Amin

Malang, Aktual.com-Peran ulama sebagai agamawan dan negarawan memberikan pengaruh penting bagi perkembangan masyarakat.

Apapun tindakan ulama, itu menjadi contoh, ucapannya selalu diingat, bahkan mempunyai pengaruh. Peran ulama selain pada aspek ibadah dan hukum Islam saja, juga mencakup berbagai disiplin baik pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Untuk mengetahui lebih jauh kriteria ulama, maka penulis tertarik untuk lebih jauh membahas bagaimana kriteria Ulama dalam Perspektif al-Qur’an, dengan tujuan untuk mengetahui siapakah ulama’ sebenarnya yang dimaksud oleh al-Qur’an. Al-Qur’an menyebut Ulama dengan tiga istilah pertama, ulama kedua, robbaniyyun dan ketiga, ahlu al-dzikri.

a. Ulama
Kata ulama dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua kali yaitu pada QS al-Syu’ara 26: 197 dan QS Fathir 35 : 28.

َ أَوَ لَمۡ يَكُن لَّهُمۡ ءَايَةً أَن يَعۡلَمَهُۥ عُلَمَٰٓؤُاْ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ
“ dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?”

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَۗ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

” …dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”.

Dua ayat di atas, pertama surat al-Syu’ara : 26 : 197, menjelaskan tentang para pembesar bani Israil yang mana, mereka mengetahui dari kitab suci mereka bahwa, Muhammad adalah Nabi dan Rasul akhir zaman dan hal tersebut sebagai bukti tanda akan kebenaran al- Qur’an.

Kemudian dalam surat Fathir 35 : 28, menjelaskan tentang berbagai jenis makhluk ciptaan Allah yang melata di atas bumi termasuk manusia dengan berbagai warna kulit mereka. Dan sesungguh yang memiliki rasa takut terhadap Allah, hanyalah para ulama

Jadi, yang disebut dengan ulama di sini adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dan dengan ilmunya mereka mampu dan mau menjadi saksi kebenaran, serta memiliki sifat kejujuran karena rasa dekat dan takutnya (khasy-yah) kepada Allah, jika melakukan hal yang tidak benar atau berkhianat.

Sementara itu yang disebut ulama menurut Quraish Shihab pada ayat di atas adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial.

Sementara ulama yang khosyah menurut Wahbah al-Zuhaili adalah orang yang mengetahui ilmu, sifat dan kekuasan Allah, dan barang siapa yang lebih mengetahui maka dia sesungguhnya yang paling takut di antara yang lain.

b. Rabbaniyyun
Selain kata ulama al-Qur’an juga menggunakan kata yang berbeda dengan maksud yang sama yaitu kata rabbaniyyun yang terdapat dalam QS Ali Imran 3: 79 dan QS al-Maidah 5: 44.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادٗا لِّي مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن كُونُواْ رَبَّٰنِيِّۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ ٱلۡكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”.

إِنَّآ أَنزَلۡنَا ٱلتَّوۡرَىٰةَ فِيهَا هُدٗى وَنُورٞۚ يَحۡكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسۡلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ بِمَا ٱسۡتُحۡفِظُواْ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُواْ عَلَيۡهِ
شُهَدَآءَۚ فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُواْ بَِٔاويَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗاۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
Kedua ayat ini menjelaskan tentang kelompok orang-orang berilmu yang mampu memberikan keputusan terhadap suatu perkara dengan ilmu hikmah dan ilmu kenabian, agar manusia tetap konsisten dalam iman untuk menghambakan diri kepada-Nya, serta selalu mengajarkan dan mau belajar secara terus menerus untuk memperkokoh keimanan tersebut.

Menurut al-Qurthubi, ulama rabbaniyyin adalah ulama yang mengetahui hukum-hukum Islam atau syariat Allah . Sementara itu M. Quraish Shihab, ulama rabbani menurut ayat ini paling tidak melakukan dua hal: pertama terus menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua terus menerus mempelajarinya.

c. Ahlu al-Dikri
Selain kata ulama al-Qur’an juga menggunakan ahl al-zikri yang terdapat dalam QS al-Anbiya’ 21: 7 dan QS al-Nahl 16: 43.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan”.
Arti dari ahlu al-Dikri adalah mereka yang telah membaca kitab orang- orang sebelum mereka, Taurat, Injil dan kitab- kitab yang lainnya yang telah di turunkan oleh Allah kepada umat-Nya, atau bisa disebut ahli ta’wil.

Dua ayat ini menjelaskan tentang kelompok orang-orang yang berilmu pengetahuan, yang berfungsi sebagai tempat konsultasi, karena dengan ilmu pengetahuannya kelompok ilmuan ini mampu mengantarkannya untuk selalu ingat (dzikir) kepada-Nya.‎ Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ahl- al-dzikr adalah ulama spiritual yang diberikan kemampuan lebih oleh Allah, sehingga ia mendapatkan petunjuk sebagaimana orang lain tidak mendapatkannya;Seperti contoh, orang yang berkonsultasi tentang tanggal pernikahan yang baik, kapan memulai usaha, kapan tanggal yang baik untuk menempati rumah dan sebagainya.

Dari seluruh ayat di atas dapat disimpulkan ulama itu harus memenuhi tiga kriteria, satu memiliki ilmu pengetahuan dan dengan ilmu pengetahuannya menjadikan semakin takut dengan Allah (Agamawan), dua memiliki ilmu pengetahuan serta mengajarkannya dan selalu terus belajar (Akademisi) dan ketiga memiliki ilmu pengetahuan dan mampu menjadi konsultan bagi masyarakat (Praktis).
Di Indonesia salah satu ulama yang memenuhi 3 kriteria di atas adalah Prof. DR. (HC) K.H. Ma’ruf Amin. Ia merupakan tokoh yang lengkap sebagai agamawan, akademisi dan juga praktisi. Bisa dikatakan beliau ulama Multi talenta di masa kini. Saat ini ia di samping menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menjadi Rais ‘Aam ormas terbesar di Indonesia, sehingga ke-ulamaan-nya di akui oleh masyarakat Indonesia.

1. Sebagai Agamawan (Ulama)

Dari latar belakang pendidikan, sosial-historis, dalam sosio-historisnya ia merupakan putra Ulama besar di Banten yaitu K.H. Mohammad Amin, ia juga pernah mengenyam pendidikan di beberapa pesantren di antaranya PP Citangkil Banten, PP Tebu Ireng, Jawa Timur, dan beberapa pesantren di Caringin, Labuan, PP Petir, dan serang. Bahkan pada tahun 1963 ia kuliah di Universitas Ibnu Khaldun Fakultas Ushuluddin. Dari latar belakang pendidikan dan sosial-historisnya ini membentuk karakternya menjadi akademisi yang agamis, pada tahun 2001 ia membuat PP al-Nawawi di Serang Banten. Dan pada puncaknya ia dipercaya menjadi Rais ‘Aam PBNU, sebuah jabatan dengan tradisi yang diduduki oleh tokoh yang keagamaannya dan keilmuannya mumpuni dan tidak diragukan.

2. Sebagai Akademisi (Rabbaniyyin)

Sejak dulu K.H. Ma’ruf Amin dkk konsisten dengan terobosannya bahwa pentingnya dibukanya pintu istinbath dan Ilhaq dalam tubuh NU. Sebagai salah satu bentuk konsistensinya ia memodifikasi kaidah al-mukhafadhah ‘alal qadim al-Shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah, dengan menambah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah maksudnya, adalah kemaslahatan itu harus selalu ditinjau ulang. Adapun beberapa karya dari K.H. Ma’ruf Amin, di antaranya Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Prospek Cerah Keuangan Syariah di Indonesia, Era Baru Ekonomi Islam di Indonesia. Puncaknya ia ia mendapatkan gelar DR. (HC) dalam bidang Ekonomi Syariah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 2012.
Dari produktifitas dan kegigihannya menunjukkan, bahwa ia termasuk kategori ulama yang rabbaniyyin, selalu belajar terus menerus (peneliti) demi mewujudkan produk hukum yang relevan, Di antara tiga kriteria di atas, kriteria inilah yang paling dominan.

3. Sebagai Praktisi (Ahl al-Dzikr)

Sebagai ulama yang dipercaya sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia, posisinya mempunyai peranan penting dalam menjawab setiap permasalahan umat untuk menciptakan hukum baru yang relevan untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan Negara. Puluhan bahkan ratusan aduan yang masuk berbagai persoalan untuk kemudian dicari fatwa hukumnya, ini membuktikan bahwa peran K.H. Ma’ruf Amin, sebagai konsultan utamanya dalam bidang hukum Islam tidak pernah berhenti, walaupun ia lakukan dengan fatwa kolektif yaitu fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang melalui diskusi.

Diterimanya K.H. Ma’ruf Amin, sebagai panutan umat dikarenakan ia mempunyai tiga kriteria yang telah disebutkan oleh al-Qur’an, selain itu ia juga selalu mengedepankan teks, konteks dan kontektualisasi sehingga pendapat-pendapatnya bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Azyumardi Azra mengatakan, sebaik apapun materi dakwah, apalagi dengan menyandarkan pada nilai-nilai agama dapat ditolak manusia yang menjadi sasaran dakwah, manakala dakwah tersebut disampaikan dengan cara-cara yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-psikologi manusia, lebih-lebih tidak “manusiawi”.
Dakwah tidak bisa disampaikan hanya mengandalkan semangat, juga tidak bisa hanya mengandalkan kefasihan dan wawasan keagamaan; Lebih dari itu ketrampilan, kecakapan dan perilaku pendakwah (da’i) terkadang lebih menentukan bagi keberhasilan dakwah. Wallahu’allam.
Oleh: Dr. KH. Imam Muslimin
*Penulis adalah Dosen di Fakultas Tarbiyah dan ilmu Keguruan UIN Malang

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs