Jakarta, Aktual.com – KH. R. As’ad Syamsul Arifin, merupakan pahlawan nasional yang terlupakan oleh pemerintah Indonesia. Pasalnya, sejarahnya tak pernah ditampilkan dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah di Tanah Air.
Betapa tidak, Kiai As’ad yang lahir di Kota Mekkah Al Mukaramah, pada 1897 adalah tokoh pergerakan untuk melawan agresi militer Belanda yang menguasai Jawa Timur setelah proklamasi kemerdekaan.
Kiai As’ad, yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo yang banyak memiliki murid dan pengikut, ikut turun langsung melawan kompeni di Tanah Air.
Kiai As’ad memiliki peran penting dalam merebut senjata milik Belanda di Desa Dabasan Bondowoso. Beliau turun langsung berbaur dengan bromocorah yang menjadi binaannya (disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli 1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda.
Para Pelopor sebenarnya meminta Kiai As’ad untuk tidak turun langsung ke dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja. Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan Belanda.
Kiai As’ad menyadari cinta Tanah Air bagian dari iman, dan pentingnya sebuah tanah air untuk mengamalkan ajaran agama. Agama tanpa Tanah Air sulit untuk direalisasikan. Sementara Tanah Air tanpa agama akan amburadul. Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan.
“Perang itu harus niat menegakkan agama dan arebbuk negere (merebut negara), jangan hanya arebbuk negere! Kalau hanya arebbuk negere, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga,” ujar Kiai As’ad kepada pengikutnya, dikutip dalam buku K. H. R. As’ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang, yang ditulis oleh Ahmad Sufiatur Rahman, Sabtu (8/8).
Demikian motivasi yang Kiai As’ad tanamkan kepada para Pelopor. Dengan motivasi itu, para Pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu menanjak melintasi 100 desa, dan tak takut mati untuk memperoleh senjata demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman.
“Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun, jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir,” dawuh Kiai As’ad kepada para Pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda.
Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee enfield, mortir, light machine gun, serenteng peluru tajam, dan granat.
Sementara pesantren Salafiyah Syafiiyah menjadi tempat berlindung dan menyusun strategi para gerilyawan. Sehingga, pasukan Belanda menggerebek pesantren untuk mencari gerilyawan dan senjata. Bahkan, pesantren hendak dibom karena dinilai membahayakan, tapi pesawat milik Belanda meledak terlebih dahulu di udara, sementara gerilyawan berhasil kabur dari pesantren termasuk Kiai As’ad.
Namun, ada penyusup dan yang dipandu oleh orang dalam Pesantren Sukorejo sendiri yang berkhianat. Penggerebekan pesantren menjadi ajang fitnah di media dan Kiai As’ad dituduh melakukan makar pada NKRI dan terlibat dalam DI/TII. Akhirnya Kiai As’ad menjadi tahanan politik selama enam bulan. Kiai As’ad kembali ke Sukorejo tahun 1954.
Artikel ini ditulis oleh: