Jakarta, Aktual.com – KH. Muhammad Danial Nafis dalam kesempatan kajian tasawuf online selasa (21/4) menjelaskan kepada para partisipan tentang makna puasa syariat, Tarekat dan Hakikat menurut Shulthonul Auliya Al-Imam Sidy Syeikh Abdul Qadir al-Jilani qs.

Dalam sirrul asraar, Shulthonul Auliya Sidy Syeikh Abdul Qadir al-Jilani ra. membagi puasa dalam tiga kategori, shaum al-syarî’ah (puasa syariat), shaum al-tharîqah (puasa tarekat) dan shaum al-haqiqah (puasa hakikat).

Syeikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa puasa syariat adalah:

أَن يمسك عن الْمأكولات والمشروبات وعن وقاع النساء في النهار

Menahan diri dari makanan, minuman, dan bersetubuh di waktu siang.

Dari sudut pandang fiqih (Syariat), yang membatalkan puasa secara umum hanyalah makan, minum dan bersetubuh di siang hari. Selama bisa menahan diri dari tiga hal tersebut, puasa kita sah dalam sudut pandang fiqih. Hal ini berbeda dengan puasa tarekat. Syeikh Abdul Qadir melanjutkan:

أن يمسك عن جميع أعضائه المحرّمات والمناهي والذمائم مثل العُجب والكبر والبخل وغير ذلك، ظاهر وباطنا، فكلُها يبطل صوم الطريقة

Menahan seluruh anggota tubuhnya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan dilarang, menjauhi sifat-sifat tercela seperti ujub, sombong, kikir dan selainnya secara lahir dan batin. Maka setiap melakukan hal-hal tersebut akan membatalkan puasa tarekatnya.

Puasa ahli thoriqoh berbeda dengan puasa secara syariat yang hanya menahan makan minum. Puasa ahli thoriqah menahan seluruh anggota tubuh dan panca indra. membersihkan diri dari hal yang tidak bagus. Menghentikan dari hal yang tidak berfaedah. Menjaga batin dari sifat-sifat tercela yang dapat menyebabkan penyakit hati.

Perbedaan lainnya adalah perihal waktu. Puasa syariat ditentukan waktunya atau mempunyai waktu tertentu, muwaqqat. Misalnya pada bulan Ramadhan saja. Atau puasa-puasa sunnah seperti senin kamis, puasa Dawud dan Ayyamul bidh seperti yang biasa diamalkan ahlu Zawiyah. Sedangkan puasa tarekat tidak mempunyai batasan waktu tertentu muabbad fi jamî’i ‘umrih, sepanjang hidup manusia.

Berbukanya puasa syariat saat maghrib, sedangkan berbukanya ahli thoriqah saat meninggal. Puasa tarekat itu sepanjang hayat. Menahan dan menghentikan segala perbuatan yang tidak layak dan tidak pantas secara akhlak.

Dalam puasa syareat, selama seseorang berhasil memenuhi syarat dan rukunnya, tidak melanggar tiga larangan seperti yang disebutkan di atas, puasanya sah secara fiqih, meskipun dia menggunjing, marah, pelit, dan sombong. Tapi tetap saja, dia mendapatkan dosa dari perbuatannya itu. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah saw. sampai beliau bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar, dan betapa banyak orang yang bangun malam (untuk beribadah) yang tidak mendapatkan dari bangun malamnya kecuali begadang.” (HR Imam Ibnu Majah)

Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti sesama manusia.

Puasa Syariat itu wilayahnya di shodr (dada), yang dibelenggu adalah nafsu amarah. Puasa tarekat wilayahnya qolb (hati). yang dibelenggu adalah nafsu lawwamah. Puasa hakikat, tidak hanya shodr dan qolbnya yang berpuasa tapi ia telah meresap kedalam Fuad hamba. Ini adalah perjalanan puasa hamba dari maqam ma’rifat kepada maqam hakikat.

Puasa hakikat adalah puasanya para ahlul muthma’innah. Para hamba Allah yang telah sampai pada nafsul muthma’innah, jiwanya senantiasa tenang dalam ketaatan kepada Allah. Sepanjang hari mereka menahan kerinduan dan kecintaan kepada Allah.

Sampai di sini kita dapat memahami bahwa maksud hadits Rasulullah saw. tentang setan-setan yang dibelenggu ketika datang bulan ramadhan maksudnya juga dibelenggunya bala tentara setan yang ada didalam diri kita. Dalam aliran darah kita. Yaitu nafsu dan syahwat.

Hakikat puasa sendiri baik secara syariat maupun tarekat adalah jalan seorang hamba meneladani dan meresapi sifat-sifat Ketuhanan. Allah tidak makan minum, tidak beristri. Allah juga tidak berbuat zalim dan tercela karena Allah adalah Pemilik sifat-sifat kesempurnaan. Inilah maksud firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:

َالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”. (HR. Imam Ahmad)

Kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengutip hadits Qudsi dalam kitabnya, Sirr al-Asrâr, yang mengatakan:

يَصيْرُ لِلْصائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِي

Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa: (1). Ketika berbuka, dan (2). Ketika melihat Ke-Maha Indah-an Allah.”

Bagi Ulama syariat yang dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari tenggelam diwaktu maghrib, dan melihat hilal di malam Idul Fitri tanda ramadhan telah berakhir. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.

Bagi kita para salik minimal harus masuk dalam puasa Thariqah. Puasa yang tidak hanya menahan makan dan minum saja. Namun juga menahan juga segala maksiat lahir dan batin. Jika sudah puasa, shalat jamaah, wirid, namun masih maksiat, berarti belum ada istihya’ (memiliki rasa malu) dan muroqobah (merasa diawasi). Masih berproses menuju manusia paripurna. Introspeksi diri lagi. Apakah ibadah kita hanya untuk memenuhi kewajiban? Karena kebutuhan? Atau sedang menuju jalan cinta?.

Puncak Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam (Lubb) dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:

الإنسان سري وأنا سره

“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”

Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling kepada selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat. Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.

Ramadhan kita seharusnya bukan hanya mengejar pahala tapi mencari ridha dan Mahabbah. Puasa kita harusnya tidak hanya karena Allah tapi juga harus masuk dalam keterlibatan dan kebersamaan dalam perbuatan-Nya. Tenggelam dalam tauhidul Af’aal. Semoga kita diberikan cicipan ma’rifat dan mahabbah oleh Allah ta’ala. Aamiin

Wallahu a’lam bis shawaab

 

RESUME KAJIAN TASAWUF BERSAMA KH. MUHAMMAD DANIAL NAFIS Hafizhahullah
(Via Zoom Cloud Meeting 20.30 – 23.00 Selasa 21 April 2020 / 28 Sya’ban 1441)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin