Simulasi Penanganan Teroris (Antara)

Jakarta, Aktual.com — Terduga teroris, Siyono, dinyatakan tewas setelah sebelumnya pada 8 Maret 2016 dijemput oleh tim Densus 88 untuk pengembangan kasus.

Kematian Siyono menyita perhatian berbagai kalangan. Bukan hanya Ormas Islam, Komnas HAM pun angkat bicara mengenai tewasnya Siyono pada 11 Maret lalu.

Komisioner Komnas HAM, Prof.DR.Hafidz Abbas, mengungkapkan bahwa adanya kerjasama dengan Muhammadiyah, perlahan kasus kematian Siyono mulai terkuak.

“Kami ucapkan terima kasih kepada PP Muhammadiyah atas kerjasamanya yang begitu intensif dan profesional sehingga kasus kematian Siyono mulai terungkap,” Ujar Hafidz, pada diskusi bertajuk ‘Mengapa Umat Islam Selalu Terzholimi’, di Islamic Centre, Bekasi Barat, Sabtu (9/4).

Hafidz memaparkan, dari hasil autopsi yang dilakukan pihak Muhammadiyah, ditemukan sejumlah luka cukup parah ditubuh Siyono.

“Siyono meninggal karena ada luka dari sejumlah tubuhnya, ada bekas pukulan benda tumpul, ditemukan patah tulang pada bagian dada juga di bagian kepala,” Ungkap Hafidz.

Dengan temuan yang akan dipublikasikan kepada masyarakat Senin (11/4) mendatang, maka kasus kematian Siyono akan terungkap.

Di sisi lain, Hafidz sangat tergerak melihat perjuangan Istri Siyono, Suratmi, yang menolak uang yang dari pihak aparat kepolisian.

Uang dua gepok yang dibungkus koran dan diikat lakban berwarna coklat itu diberikan seseorang yang diduga salah satu anggota Polwan untuk biaya pemakaman suaminya dan biaya santunan untuk anak-anaknya, tetapi Suratmi menolak dan menyerahkannya kepada Busyro Muqodas, ketua bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah untuk dijadikan barang bukti.

“Ini cukup membuat haru, dimana, meski istri Siyono secara ekonomi jauh dari kecukupan, tetapi ia tidak tergoda dengan uang tersebut karena ia kaya akan akhlak dan nilai-nilai agama,” Kata Hafidz.

Oleh sebab itu, kasus Siyono harus diungkap dan menjadi pembelajaran bahwa yang menetapkan seseorang teroris atau bukan adalah Pengadilan.

“Umat islam ini cinta damai. Jadi yang menetapkan seseorang itu teroris bukan Densus, tetapi Pengadilan, karena kita adalah negara hukum,” Tegas Hafidz.

Artikel ini ditulis oleh: