Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil memberikan keterangan kepada media usai mengikuti rapat koordinasi di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Selasa (9/8). Rakor itu membahas kelanjutan proyek Tanjung Benoa dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam, Bintan dan Karimun (BBK). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil mengakui, kontribusi sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah. Padahal Indonesia memiliki penduduk yang besar dan mestinya banyak pembangunan properti yang berdampak ke pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu, kata dia, masalah utama yang menghambatnya adalah terkait pertanahan yang tak mudah diselesaikan.

“Harusnya kontribusi sektor properti ke PDB bisa tinggi. Selama ini hanya 3 persen. Padahal negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura bisa mencapai 20 persen,” tandas Sofyan di Jakarta, Rabu (14/12).

Kondisi ini terjadi karena masih adanya kebutuhan tinggi tapi tak bisa dipenuhi alias backlog rumah. Ditambah lagi kondisi literasi keuangan juga masih rendah hanya 36 persen. Sehingga pembiayaan untuk sektor properti juga rendah.

“Makanya, BPN salah satunya membantu dengan percepatan sertifikasi tanah. Jadi orang yang MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) bisa punya modal awal untuk colateral akses ke perbankan,” ujar Sofyan.

Selama ini, kata dia, masalah tanah ini selalu bermasalah, makanya BPN akan turun tangan lebih cepat. Kondisi tanah seperti memang dikeluhkan oleh banyak pengembang, terutama pebgembang kecil.

“Misal mereka punya tanah 50 ha mereka bisa bangun dulu, kita akan dukung yang penting sektor properti bisa dibangun,” jelasnya.

Terkait sertifikasi tanah, ujar Sofyan, dalam setiap tahunnya akan ditingkatkan proses sertifikasi tanahnya. Tahun ini ditargetkan akan satu juta, tahun depan bisa 5 juta, kemudian bertambah jadi 7 juta, 9 juta, dan setiap tahunnya bisa menjadi 10 jt.

“Kita berharap, ini (sertifikasi tanah) menjadi revolusi sangat signifikan dari BPN. Makanya tahun depan, kita mau buat Bank Tanah,” ungkap Sofyan.

Pengamat properti dari Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda mengaskan, selama ini pengembang selalu ingin membangun rumah subdisi dengan harga Rp150 juta ke bawah, akan justru tetapi kendalanya dengan harga tanah yang semakin mahal.

“Jadi, 7 dari 10 pengembang yang tadinya membangun menengah bawah, beralih ke menengah atas karena harganya (tanah) mahal,” tegas dia.

Menurut Ali, jika ada bank tanah maka harga tanah dapat terkendali karena nantinya ke depan akan ada rambu-rambunya dalam menentukan harga tanah.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid