Jakarta, aktual.com – Tiga kasus korupsi kakap yang ditangani Kepolisian dan Kejaksaan Agung (Kejagung) di era pemerintahan Prabowo Subianto mendapat sorotan.
Kasus judi online (judol) yang ditangani kepolisian dan telah memasuki persidangan dinilai belum layak diapresiasi. Kasus pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang yang juga ditangani kepolisian dinilai paling buruk. Tidak ada kejelasan hingga saat ini.
Sedangkan kasus pengoplosan Pertamax di Pertamina Patra Niaga yang ditangani Kejagung juga dinilai masih buruk. Karena hanya menyentuh para operator dan pelaksana di bawah.
Penilaian tiga kasus kakap ini disampaikan mantan Menkopolhukam Mahfud MD dalam podcast YouTube Mahfud MD Official yang diunggah pada Selasa 1 Juli 2025.
Mahfud mengatakan, dugaan keterlibatan eks Menkominfo Budi Arie Setiadi yang kini menjabat Menteri Koperasi di kabinet Presiden Prabowo, justru muncul di pengadilan, tidak muncul di hasil penyelidikan kepolisian.
“Muncul dalam uraian dakwaan. Tapi dari situ sudah jelas dia (Budi Arie) menerima 50 persen, kemudian dia memaksa pegawai pilihannya bekerja di situ. Kan berarti dia yang bertanggung jawab. Dirjen-dirjen dan pejabat eselon satunya juga sudah menyebut dia dalam persidangan,” papar Mahfud.
Dan bahkan, lanjutnya, ada beberapa kesaksian yang menyebutkan bahwa uang jatah judol itu diserahkan langsung di rumah Budi Arie dan nama-nama yang menyerahkan juga disebutkan.
Ketika ditanya Host podcast Rizal Mustari, bisakah Jaksa mengambil alih dan menyelidiki dugaan keterlibatan Budi Ari? menurut Mahfud Kejagung bisa melakukan penyelidikan terhadap Menteri Koperasi itu.
“Karena Jaksa adalah penyidik kasus korupsi. Dengan inisiatif sendiri, Kejagung bisa menetapkan Budi Arie sebagai tersangka. Atau melalui hakim memerintahkan menjadikannya sebagai tersangka. Itu bisa.,” tandas Mahfud.
“Tapi mungkin ini ada ewuh pakewuh antara kepolisian dan kejaksaan. Polisi tidak menetapkan tersangka tapi di BAP nya ada sebutan nama dia (Budi Arie), mungkin Kejagung menunggu dulu,” tambahnya.
Namun, lanjutnya, masyarakat tidak boleh menerima kalau otak kasus judol ini malah bebas melenggang dengan seenaknya.
“Kita harus minta kepada kejaksaan, dan pengadilan untuk mengejar otak kasus judol ini,” ujarnya.
Menurut Mahfud, persen Budi Arie terlihat lebih jelas tanggung jawabnya daripada orang-orang yang disuruh. Apalagi angka kerugian negara mencapai Rp600 triliun hingga Rp900 triliun.
“Kita lihat nanti. Mudah-mudahan ada kalimat yang jitu seperti Pak Prabowo katakan kepada Harvey Mois. Pak Prabowo marah dan bilang ‘bisa nggak dituntut hukuman mati’ lalu jaksa Agung menyatakan bisa dinaikkan dan akhirnya divonis 20 tahun,” ungkapnya.
Dalam kasus Judol ini, Mahfud berharap Prabowo tidak memiliki political handicap atau hambatan politik. Sehingga bisa meminta Jaksa Agung untuk menyelidiki dan menetapkan Budi Arie sebagai tersangka kasus judol.
“Karena fakta-fakta keterlibatan menteri koperasi itu ada dalam fakta persidangan. Nggak ada orang yang membela Budi Ari, kecuali pembelanya. Hampir semua masyarakat hukum mengatakan itu terlibat. Ngak ada yang bilang tidak ,” tukasnya.
Dikatakan Mahfud, penanganan kasus judol ini belum bisa diapresiasi tetapi juga belum.bisa dicela. Karena kita masih bisa melihat dan menunggu apakah otak dari kasus ini akan diselidiki.
Penanganan Kasus Pagar Laut Paling Buruk
Kasus pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang mendapat sorotan berikutnya. Menurut Mahfud, pagar laut adalah kasus pidana yang menghebohkan. Kasus ini adalah jelas pelanggaran undang-undang. Mengkavling laut itu tidak boleh. Itu sudah ketentuan undang-undang dan putusan MK.
“Waktu itu pemerintah sangat responsif. Prabowo memerintahkan angkatan laut untuk membongkar, lalu memerintahkan menteri ATR untuk membatalkan sertifikat di laut. Nah tiba-tiba sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi,” kata Mahfud.
Mahfud berpendapat, penanganan kasus pagar laut termasuk yang paling buruk. Banyak orang menanyakan kenapa kasus ini tidak juga diangkat.
Menurutnya, jika sejak diawal penuh semangat membongkar kasus ini, tapi pada akhirnya mentok dan tidak ada kejelasan, maka hal itu terjadi jika membentur dua kekuatan.
“Yakni kekuatan oligarki. Kumpulan pengusaha yang memiliki kepentingan tidak benar dari segi aturan dalam prosesnya. Dan kedua, terbentur politisi yang telah memberikan kontribusi,” ucap Mahfud.
Jadi, lanjutnya, hingga sekarang tidak jelas kelanjutannya, siapa tersangkanya. Padahal jelas pagar laut itu adalah tindak korupsi dilihat dari segi apapun seperti disampaikan Kejaksaan Agung. Lalu kasus ini digarap polisi tetapi tidak ada kejelasan sampai batas waktu penanganan perkaranya habis.
Kasus Pertamax oplos di Pertamina Patra Niaga, juga mendapat sorotan. Mahfud mengatakan bahwa kasus ini juga menimbulkan tanda tanya besar.
Saat ini ada 9 orang yang jadi tersangka kasus ini. Mereka adalah para pekerja di level anak usaha. Publik menilai tidak mungkin level mereka itu yang melakukan, karena ini ada di bawah holding besar Pertamina.
“Dan keluarga orang yang ditahan itu mengadu kepada saya. Dia nanya, suami saya ini nggak tahu melakukan apa sehingga jadi tersangka. Wong setiap transaksi dia selalu lapor dulu ke atas. Lalu diberi disposisi. Tapi suami saya hingga saat ini belum diperiksa kesalahannya apa,” ungkap Mahfud.
Tapi, kata Mahfud, Kejaksaan pada Maret mengatakan akan mengusut para pelaku yang lebih atas sebagai pemberi perintah. Tapi hingga kini belum ada tersangka baru.
Mahfud menyebut dalam kasus Pertamina ini mentok di level atas, karena diduga ada oligarki dan mafia yang sudah bercokol selama bertahun-tahun. Sehingga yang dijadikan tersangka hanya para pelaksana di bawah. Sementara yang diatas masih bebas.
“Zaman pak Jokowi lewat satgas Migas yang dipimpin Faisal Basri juga mentok saat itu. Tidak berhasil membongkar mafia migas ini,” ucapnya.
Padahal kasus ini sangat layak menjadi perhatian publik, lantaran nilai kerugian negara yang cukup besar. Dalam satu bulan bisa mencapai Rp137 triliun. Jika prakteknya dilakukan selama 1 tahun, bisa tembus seribu triliun lebih.
Selain tiga kasus di atas, Mahfud mengapresiasi penanganan kasus dugaan suap mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar sebesar Rp5 miliar dengan vonis hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Menurut Mahfud hukuman itu sudah pantas. Karena kasusnya baru soal suap. Sementara kasus dana korupsi sebesar Rp915 miliar , menjadi kasus tersendiri yang ancaman hukumannya cukup berat, bisa seumur hidup.
“Saya mengikuti kasus ini. Putusan itu bagus karena putusan itu baru menyangkut satu kasus penyuapan. Sedangkan kasus dengan dana Rp915 miliar dan 52 kg emas jadi kasus tersendiri,” pungkasnya. ***
Artikel ini ditulis oleh:
Jalil