Suasana aktivitas di Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, Jumat (6/11). Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) tentang laporan keuangan APBD DKI Jakarta menemukan indikasi adanya kerugian keuangan daerah sebesar Rp191,33 miliar dalam pembelian tanah RS Sumber Waras karena dinilai tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang terkait. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/15.

Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi tengah membuat suatu analisa soal aliran uang pengadaan tanah RS Sumber Waras, yang memiliki luas 3,6 hektar.

Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, saat ditanya soal dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tanah bernilai Rp 800 miliar.

“Masih juga buat analisis,” ujar Saut lewat pesan singkatnya kepada Aktual.com, Senin (25/4).

Tapi sayangnya, Saut mengaku tidak tahu ketika dikonfirmasi secara detil apa saja yang dibahas dalam analisa tersebut. “Belum tahu (detilnya).”

Sebelumnya, ada dua ahli hukum yang berbicara mengenai subtansi pidana korupsi terkait dengan pengadaan tanah RS Sumber Waras. Keduanya, memfokuskan soal aliran keuntungan setelah peralihan hak atas tanah RS Sumber Waras terjadi.

Guru Besar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita salah satunya. Dia meminta KPK untuk menelurusi kemanakah keuntungan setelah Pemerintah Provinsi DKI membayaran biaya peralihan hak tanah kepada RS Sumber Waras.

“Kalau sekarang masih dikuasai, masalahnya siapa yang rugi? Siapa yang memanfaatkan hasil dari tanah itu? Pasti penjual. Kemana uangnya? Masuk ke negara-kah, karena sudah dilepaskan kepada negara? Atau masuk kantong pribadi-kah? Ini KPK harus telusuri,” ujar Romli dalam sebuah diskusi di salah satu tv nasional, 12 April 2016.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Muhamadiyah Jakarta Chairul Huda lebih berbicara kearah proses pengadaan, seperti halnya SK Tim Kajian yang dibuat tanggal mundur.

“Informasi yang saya terima, sejumlah dokumen dalam proses pengadaan tanah dimaksud, dibuat setelah Akta pelepasan hak ditandatangan,” ujar dia lewat pesan singkatnya, Rabu (20/4).

Hal itu, kata Chairul jadi fakta bahwa ada pelanggaran dalam pengadaan tanah Rp 800 miliar itu. “Jadi, dokumen-dokumen tersebut dibuat backdate, yang menggambarkan adanya perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana korupsi.”

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu