Jakarta, Aktual.co — Kasus dugaan korupsi terkait dengan pengajuan permohonan keberatan pajak Bank Centeral Asia yang telah menyeret bekas Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan, Hadi Purnomo sampai saat ini belum jelas penanganannya di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sejak ditetapkan tersangka pada, Senin (21/4) lalu, nasib Hadi pun sampai saat ini masih menikmati udara bebas, karena sampai saat ini lembaga yang dipimpin oleh Abraham Samad cs itu mengaku masih mendalami pemeriksaan saksi-saksi alias belum mau menahan Hadi Purnomo dalam perkara itu.
Meski kerap mengkalim masih mendalami keterangan saksi-saksi, namun lembaga tersebut tak pernah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Bahkan dalam kasus ini, lembaga tersebut belum juga melakukan pemeriksaan terhadap pihak BCA. Alih-alih dalam hal ini, KPK mengklaim bahwa terus melakukan penyisiran terhadap gurita-gurita dalam perkara tersebut.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut, proses penyidikan kasus dugaan korupsi pajak Bank Central Asia dengan tersangka Hadi Purnomo dilakukan secara bertahap guna kepentingan penuntasan perkara. “Kasus ini ditangani secara bertahap dengan memanggil sejumlah pihak,” katanya di Jakarta, Senin (1/12).
Saat ditanya mengenai siapa saksi-saksi yang telah dipanggil KPK itu, Busyro hanya menyebutkan bahwa saksi tersebut dari kalangan pihak BCA. Busyro membantah jika KPK dianggap merahasiakan identitas saksi-saksi yang diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pajak BCA.
“Tidak benar (anggapan) itu, seingat saya sudah ada yang dipanggil dari BCA, tapi jumlah dan namanya saya lupa.”
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam menerima seluruh keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil PT Bank BCA tahun pajak 1999-2003.
Hadi Purnomo diduga sangka telah penyalahgunaan wewenang karena memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasilan badan Bank BCA 1999-2003 sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp375 miliar.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1. Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Dalam perkembangan penyidikan, penyidik KPK telah memeriksa mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution sebagai saksi atas tersangka Hadi Poernomo di Gedung KPK pada Senin (11/8). Usai pemeriksaan selama lima jam dalam kasus Hadi Purnomo, Darmin tak banyak mengeluarkan komentar. Dia lebih memilih untuk menjelaskan pemeriksaannya sebagai saksi atas kasus tersebut.
“Ya saya itu dipanggil untuk jadi saksi, pada kasus pak Hadi Purnomo,” kata Darmin di Gedung KPK di kawasan Kuningan Jakarta.
Darmin mengaku tidak banyak mengetahui seputar penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Hadi dalam kasus tersebut. Seperti diketahui Darmin menjabat sebagai Dirjen Pajak menggantikan Hadi pada 2006 lalu. Darmin justru tak paham substansi kesaksiannya pada kasus ini.
“Terjadinya sebelum saya datang di (Direktorat jendral) Pajak. Substansinya kan memang waktu itu sebelum saya,” kata Darmin yang juga pernah menjabat Direktur Jendral Pajak ini.
Menurut Darmin, saat dia menjabat sebagai Dirjen Pajak periode 21 April 2006–27 Juli 2009 tak ada lagi pengajuan keberatan pajak oleh BCA karena sudah diputuskan oleh dirjen sebelumnya, yaitu Hadi Purnomo.
“Keputusannya sudah ada waktu itu. Keputusannya itu sebagaimana diputuskan waktu itu oleh dirjen sebelumnya,” kata dia.
Untuk diketahui, kasus ini bermula ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar 17 Juli 2003. Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7 triliun.
Setelah melakukan kajian selama hampir setahun, pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh (pajak penghasilan) menerbitkan surat yang berisi hasil telaah mereka atas keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA.
Surat tersebut berisi kesimpulan PPh bahwa pengajuan keberatan pajak BCA harus ditolak. Namun, pada 18 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan.
Hadi diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima seluruhnya. Pada hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan surat keputusan ketetapan wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh keberatan BCA selaku wajib pajak.
Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi Direktorat PPh untuk memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut. Hadi juga diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak.
Namun, pengajuan yang diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama. Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu