Ilustrasi Hukuman Mati

Jakarta, Aktual.com – Dalam rangka menghormati prinsip-prinsip HAM dan martabat manusia, banyak negara di dunia telah menghapuskan pidana mati atau menghentikan pelaksanaannya.

Perdebatan tentang pidana mati terus berlanjut, dan penerimaan atau penolakan terhadap hukuman mati sangat tergantung pada nilai-nilai dan keyakinan individu serta masyarakat di suatu negara.

Prof. Adrianus Meliala, Kriminolog Universitas Indonesia, menyampaikan, di Indonesia, saat ini pengaturan pidana mati dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023) telah menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS).

Prof. Adrianus Meliala, menganggap bahwa ketentuan pidana mati dalam UU 1/2023 adalah langkah positif bagi Pemerintah yang patut untuk diapresiasi.

Ia menjelaskan bagaimana bahwa ada justifikasi terhadap pemberian waktu 10 tahun sebagai masa percobaan dalam pidana mati yang diatur dalam Pasal 100 UU 1/2023.

“Dari aspek kriminologi, waktu sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk merehabilitasi seorang terpidana, khususnya bagi pelaku yang ‘tergelincir’ atau ‘kalap’ sewaktu melakukan tindak pidananya,” ucap Guru Besar Ilmu Kriminologi dari Universitas Indonesia ini, dikutip Jumat (19/5).

Meski demikian, Prof. Adrianus Meliala juga memberikan beberapa catatan mengenai pelaksanaan evaluasi setelah masa percobaan tersebut, dimana perlu ada telaah yang objektif dalam mekanisme penerapan UU tersebut sehingga memberikan kemanfaatan bagi keberhasilan proses rehabilitasi para terpidana.

“KUHP baru mengatur perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup jika terpidana bersikap baik. Hal ini perlu diperjelas bagaimana pelaksanaannya, apakah nanti terintegrasi dengan TPP (Tim Pembinaan Pemasyarakatan) atau tidak.” Imbuh Prof. Adrianus

Lebih lanjut, Prof. Adrianus menekankan pentingnya peran pejabat pemasyarakatan di level teknis agar keputusan evaluasi dapat dilakukan secara objektif dan berbasis bukti (evidence-based).

“Persoalan-persoalan ini perlu diatur dalam peraturan pelaksananya, terutama Peraturan Pemerintah tentang Pemasyarakatan atau bahkan perubahan terhadap Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru disahkan tahun 2022,” jawab Prof. Adrianus sewaktu ditanyakan bentuk solusi yang dapat diusulkan atas permasalahannya.

“Pemerintah juga perlu memperjelas bagaimana status mereka yang sudah berada di penjara selama lebih dari sepuluh tahun sewaktu KUHP Baru mulai berlaku.”

Daniel Awigra dari Human Rights Working Group (HRWG) berpendapat bahwa Masa percobaan sepuluh tahun memberikan kepastian hukum bagi para terpidana mati. Jadinya mereka tidak tersiksa selama berada di tahanan, dalam menunggu waktu eksekusi yang pada umumnya tidak jelas kapan waktu pelaksanaannya.

Co-Founder Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman ini juga memberikan beberapa catatan terhadap pengaturan pidana mati UU 1/2023 yang menurutnya belum banyak dibahas.

“Ada kekosongan hukum untuk orang-orang yang eksekusinya dibatalkan, misalnya pada peristiwa pembatalan eksekusi mati di saat-saat terakhir kepada Mary Jane Veloso, seorang warga Filipina yang dibatal dieksekusi mati pada tahun 2015,” tegas Awigra

Selain itu, Awigra juga mempertanyakan bagaimana keberlakuan dari UU 1/2023 kepada terpidana mati yang ada sebelumnya, dan penting untuk dijembatani terkait potensi kesenjangan penerapan hukum dengan kebijakan perantara sebelum KUHP yang baru berlaku

“Jangan sampai nanti ada perbedaan perlakuan kepada mereka yang sudah dipenjara selama puluhan tahun,” tutup Awigra.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu