Jakarta, Aktual.com – Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu), tidak sesuai dengan Konstitusi.
Demikian disampaikan Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti kepada wartawan Kamis (18/11). Tak hanya itu La Nyalla juga mengatakan bahwa Presidential threshold tidak sesuai konstitusi juga banyak disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara.
“Apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi? Jawabnya adalah tidak. Ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama,” ujarnya.
“Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden yang bisa kita baca di UUD 1945, hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Disebutkan bahwa Ambang Batas Keterpilihan perlu sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” sambungnya.
Dikatakan La Nyalla, bahwa untuk Ambang Batas Pencalonan tidak ada sama sekali. Di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; ‘Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum’.
“Artinya setiap partai politik peserta pemilu berhak dan dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan sebelum Pilpres dilaksanakan,” paparnya.
Yang kemudian membingungkan, justru lahir UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari UU Nomor 42 Tahun 2008. Dalam UU tersebut, kata La Nyalla di Pasal 222 disebutkan, ‘Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’.
“Di sinilah semakin ketidakjelasannya. Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’. Akhirnya komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama,” ungkapnya.
“Sungguh pasal yang aneh dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah basi. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu,” imbuhnya.
Lebih lanjut La Nyalla menyayangkan bahwa jelas pasal dalam UU Pemilu itu tidak derifatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pasal tersebut dianulir. Sehingga, sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.
“Oleh karena itulah kami di DPD RI berpendapat bahwa wacana amandemen konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengkoreksi sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa,” tukasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid