Banda Aceh, Aktual.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bening, Kota Langsa akan melakukan upaya advokasi terhadap kelompok bersenjata Nurdin Ismail alias Din Minimi agar bisa mediasi dengan Pemerintah Aceh.

“Saya sudah berkomunikasi dengan Din Minimi. Kelompok itu, bersedia bertemu dengan Pemerintah Aceh untuk adanya mediasi mengakhiri serangkaian bersenjata,” kata Direktur LBH Bening Sukri Asma di Langsa, Kota Langsa, Jumat (28/8).

LBH Bening, lanjut Sukri, berkepentingan untuk ikut mengadvokasi kasus Din Minimi agar kesejahteraan masyarakat Aceh terealisasi sebagaimana janji Gubernur dan Wakil Gubernur saat Pilkada tahun 2012.

Kemudian, dengan adanya pertemuan antara Din Minimi dan Pemerintah Aceh diharapkan tidak ada lagi aksi bersenjata, yang terjadi di Aceh dan iklim investasi bisa tumbuh dan berkembang.

Karenanya, Sukri sedang menjalin komunikasi intens dengan kelompok Din Minimi, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat melalui Mabes Polri.

“Kita berharap Pemerintah Pusat melalui Mabes Polri bisa menjadi mediator agar persoalan kelompok bersenjata di Aceh bisa diselesaikan dengan bijak dan arif,” kata Sukri.

Ia juga mengatakan, setiap adanya aksi kriminalitas di kawasan Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Kabupaten Pidie pasti dialamatkan pelakunya adalah kelompok Din Minimi, padahal itu belum tentu benar.

Makanya, sambung dia, penyelesaian kasus Din Minimi tidak bisa dilakukan hanya mengedepankan tindakan bersenjata seperti yang selama ini berlangsung.

“Harus ada mediasi secara persuasif, jangan kedepankan penumpasan dengan aksi bersenjata. Latar belakang gejolak, karena tuntutan kesejahteraan yang dialamatkan kepada pemerintah daerah,” jelas Sukri.

Untuk sementara, kata dia, persoalan hukum yang dikaitkan terhadap kelompok Din Minimi dapat dikesampingkan demi kepentingan umum dan hal yang lebih besar, sesuai dengan asas hukum yang berlaku di Indonesia.

Dikatakan, dalam waktu dekat LBH Bening akan mempertemukan Din Minimi dengan Pemerintah Aceh yang disaksikan Pemerintah Pusat.

“Lobi terus dilaksanakan, sebentar lagi ada titik temu. Semua ini demi keamanan dan kesejahteraan rakyat Aceh,” kata Sukri Asma.

Sementara itu, pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada menilai aparat kepolisian telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Standart Operasional Prosedural (SOP) saat penyergapan terhadap Junaidi alias Brijuek 30 tahun, di Desa Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kabupaten Aceh Utara.

“Saya menilai penyergapan dan penembakan yang dilakukan polisi sehingga menewaskan terduga kelompok Din Minimi ada unsur pelanggaran HAM dan tidak sesuai SOP yang ada,” ungkap Aryos.

Menurutnya, polisi melakukan kesalahan fatal dengan menembak mati Junaidi yang diduga terlibat sejumlah kasus kriminal bersenjata di daerah itu.

Polisi, lanjut dia, harus memahami bahwa penumpasan kelompok Din Minimi tidak sama seperti menumpas teroris. Apa yang dilakukan kelompok itu adalah kriminalitas biasa.

Sepertinya, polisi sudah kehilangan sifat humanis (kemanusiaan) dalam bertindak dan menangkap kelompok Din Minimi. Bahkan lebih menampakkan sikap arogansi kekerasaan ketimbang cara profesional kepolisian, katanya.

Ini menjadi bahaya, sambung Aryos, jangan sampai publik menilai Polda Aceh lost control dalam operasi penangkapan dan terkesan paranoid.

“Kesannya polisi paranoid dengan kelompok Din Minimi. Padahal yang ditembak mati itu tidak bersenjata. Hanya berusaha melarikan diri. Harusnya tembak di kaki dong,” ujar penulis buku wajah politik dan keamanan Aceh itu.

Aryos meminta Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk turun melakukan investigasi mengecek cara bertindak polisi ketika menembak Junaidi alias Beurijuek yang dinilai tidak wajar.

Dia juga meminta kepada meminta element masyarakat sipil yang fokus ke isu HAM agar melakukan investigasi independen guna mempelajari dan evaluasi kejadian penembakan kelompok Din Minimi.

“Perlu investigasi terkait rekaman visual yang dimiliki di SPBU Batuhpat, uji balistik, uji forensik, dan lain-lain,” kata Aryos.

Jika hasil investigasi ditemukan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, maka bisa direkomendasikan untuk diproses ke jalur hukum yang berlaku di Indonesia, pungkas Aryos Nivada.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby