Oleh karena itu, suasana Kota Beijing mulai Sabtu (16/6) hingga Senin (18/6), tidak seperti biasanya. Mungkin suasananya mirip dengan di Jakarta pada saat Lebaran. Beberapa ruas jalan protokol di Ibu Kota China tersebut lengang karena sebagian pendatang mudik ke kampung halamannya untuk merayakan “Duan Wu Jie” bersama keluarga besarnya.
Pada hari Sabtu dan Senin, sekolahan libur. Perkantoran, termasuk Kementerian Luar Negeri, pada Senin juga libur. Kecuali kantor pelayanan publik, seperti perbankan, operator telekomunikasi, dan lain-lain yang tetap buka, meskipun sepi tanpa ada antrean seperti pada hari-hari biasa.
Semarak Seusai Shalat Idul Fitri, suasana halaman Wisma Indonesia riuh. Sesekali terdengar teriakan dan sorakan yang berderai di bawah cerahnya sinar mentari pagi.
Suasananya tidak beda jauh dengan pesta rakyat 17 Agustus yang rutin digelar setiap tahun di KBRI Beijing.
Dubes Djauhari Oratmangun yang membawa suasana pagi itu benar-benar meriah. Bukan saja gayanya yang suka swafoto dengan siapa saja atau memimpin yel-yel di tengah kerumunan orang, melainkan juga bertemu dengan Ustaz Ahmad Mukhlisin yang merupakan kesempatan langka sehingga suasana Lebaran pada pagi itu bertambah marak.
Mukhlisin, dai muda asal Selat Panjang, Riau, sejak bertemu dengan Dubes di Wisma Indonesia pada buka puasa bersama awal Ramadhan lalu menahbiskan keduanya laksana “seteru”.
Sebagai orang Melayu keturunan Jawa, Mukhlisin sangat senang berpantun. Hampir setiap kali memberikan kultum, termasuk saat dijamu Dubes, dia selalu menyelipkan pantun. Djauhari yang dikenal responsif dan egaliter tidak mau kalah.
Puncaknya terjadilah di halaman Wisma Indonesia pada Sabtu itu. Tidak tanggung-tanggung, Mukhlisin memberondongnya dengan empat pantun yang ditulisnya secara khusus.
“Anak burung dara belajar terbang, susah payah tetap dia lewati. Di hari raya maaf terbentang, agar kita kembali fitri,” demikian dia membuka tantangan.
“Bujang dan dara berpakaian rapi, aroma parfum menghias diri. Meskipun keluarga jarak membatasi, tapi seakan sirna di dalam hati,” ujarnya melanjutkan.
“Hidup di rantau tak selamanya susah, meskipun selalu memendam rindu. Demi cita-cita tugas harus ada yang mengalah, jika semua sudah maka indah saat bertemu,” katanya membacakan pantun ketiganya.
“Idul Fitri 1439 Hijriah masih sendiri, menatap jauh penuh arti. Akankah datang tambatan hati, saat 1440 Hijriah datang nanti,” ujarnya menutup pantun yang disusul sorakan dan teriakan jamaah yang mayoritas mahasiswa-mahasiswi “jomblo” itu memekakkan telinga.
“Saya nggak mau kalah,” kata Djauhari yang pagi itu mengenakan batik lengan panjang dipadu bawahan warna gelap seraya mengambil pelantang dari Mukhlisin.
“Kabaena gunung yang tinggi, ombak di laut sama ratanya. Sungguh enak Pak Ustaz yang pergi, kita yang ditinggal apa rasanya,” balas diplomat karier kelahiran Beo, Sulawesi Utara, 60 tahun silam itu, disambut sorakan penonton lainnya.
Meskipun hanya satu pantun, ungkapan Dubes saat itu sangat berarti karena ajang tersebut sekaligus perpisahan bagi Mukhlisin yang akan pulang ke Indonesia setelah menjalankan tugas mengisi acara keagamaan selama bulan Ramadhan di lingkungan KBRI Beijing.
Namun sebelum meninggalkan daratan China, Mukhlisin menyampaikan pesan pentingnya menjaga ukhuwah dengan siapa pun tanpa mempersoalkan perbedaan penetapan 1 Syawal 1439 Hijriah.
Menurut dia, jika Shalat Idul Fitri di Beijing dipaksakan pada hari Jumat, maka dipastikan tidak banyak umat Islam yang bisa melaksanakannya karena bukan hari libur kerja dan sekolah.
“Oleh sebab itu, mayoritas Muslim di sini mengambil pendapat Hanafi (Imam Abu Hanifah RA) yang memperbolehkan mengakhirkan Shalat (Id) pada hari berikutnya yang kebetulan hari libur,” kata lulusan Universitas Al Azhar, Mesir, itu.
Demikian pula, dibenarkan bagi umat Islam yang berpuasa pada hari Jumat (15/6) untuk menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari.
Mukhlisin pun mengajak umat Islam di Indonesia untuk melihat sisi positif terkait aktivitas keagamaan di China yang diberikan tempat, bahkan difasilitasi oleh pemerintahan setempat di bawah rezim komunis itu.
“Perbedaan bukan ajang perpecahan antarumat Islam di seluruh dunia. Berbeda itu ada sisi nikmat yang kemudian harus kita ambil hikmahnya,” ujar pria dengan gelar akademik Lc dan MA itu berpesan. (ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka