Terorisme. (ilustrasi/aktual.com)
Terorisme. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Bulan suci Ramadhan tahun ini, yang seharusnya ditutup dengan rasa syukur atas rahmat Allah SWT, dinodai dengan sekian serangan teroris di berbagai negara. Yang paling memakan korban adalah serangan bom di Irak, 3 Juli 2016, yang menewaskan 292 orang. Serangkaian serangan lain dalam waktu yang berbeda terjadi di Banglades dan Arab Saudi. Meskipun tidak memakan korban besar, serangan bom terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.

Indonesia juga tidak kebal dari serangan teroris. Sesudah serangan bom Jalan MH Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016, serangan bom bunuh diri terjadi dengan sasaran Markas Polresta Solo, Jalan Adisucipto, Solo, Jawa Tengah, 5 Juli 2016. Terduga pelaku pengeboman tewas dan satu petugas kepolisian yang mencoba menghalangi pelaku mengalami luka-luka. Pelaku diduga adalah anggota kelompok Abu Mush’ab yang ditangkap polisi di Bekasi, Jawa Barat, Desember 2015.

Berbagai serangan teror terakhir ini menggarisbawahi kembali pentingnya revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketua DPR Ade Komarudin berpendapat, peristiwa bom bunuh diri di Solo itu menunjukkan, revisi UU Antiterorisme itu harus segera dituntaskan oleh pemerintah dan DPR, agar bisa mencegah dan mendeteksi secara dini terorisme.

Sehari sesudah serangan bom Thamrin, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan sudah meminta DPR merevisi UU Antiterorisme itu. Tujuannya, agar pemerintah dapat menangkap terduga teroris sebelum mereka beraksi. Pemerintah telah menyerahkan draf revisi UU No.15/2003 itu kepada DPR.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mengatakan, UU itu harus segera diperbaiki sebab UU itu membuat gerak aparat dalam memberantas terorisme amat terbatas. Sutiyoso menginginkan BIN memiliki kewenangan lebih besar terkait penangkapan dan penahanan, agar lebih maksimal dalam mencegah terorisme.

Tidak semua sepakat soal revisi UU Antiterorisme. Pengamat intelijen Ridlwan Habib mengatakan, perangkat perundang-undangan untuk memberantas terorisme sebenarnya sudah cukup kuat. Cuma aplikasi atau penerapan aparat di lapangannya yang salah. Ia juga mengkritisi keinginan Sutiyoso untuk memperluas kewenangan BIN, karena jika kewenangan BIN diperluas maka demokratisasi yang sudah dibangun selama ini malah mundur ke belakang.

Menurut Ridlwan, hal itu akan mengembalikan situasi seperti zaman Orde Baru. Saat itu badan intelijen tak bisa dikontrol sipil. Secara alamiah, kerja intelijen adalah memberikan peringatan dini tentang adanya kemungkinan serangan teroris. Mereka menyampaikan analisis, bukan melakukan tindakan seperti menangkap dan menahan orang terduga teroris.

Sedangkan Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme M. Syafii dari Partai Gerindra menyatakan, DPR tak bisa mempercepat pembahasan revisi UU No.15/2003, sebab DPR ingin membuat UU Antiterorisme yang komprehensif. UU itu diharapkan tidak hanya mencakup aspek penindakan, tetapi juga memperkuat pencegahan serta penanganan pasca aksi teror.

Pihak Pansus berpendapat, mereka akan menyelesaikan RUU Antiterorisme itu pada waktunya. Berdasarkan aturan Tata Tertib DPR, pansus memiliki batas waktu kerja hingga empat masa sidang untuk membahas suatu RUU. Saat ini baru berlalu satu masa sidang.

Menurut pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), penegakan hukum hanyalah salah satu dari empat langkah utama dalam penanganan tindak pidana terorisme. Berbagai upaya dilakukan untuk menangani kasus terorisme, yakni deteksi dini dengan melakukan pemantauan intelijen, penjagaan di sejumlah obyek vital, penegakan hukum, dan deradikalisasi.

Langkah pencegahan melalui program deradikalisasi menjadi fokus penanggulangan terorisme. Hal itu bertujuan mengantisipasi makin banyaknya warga negara Indonesia yang terpengaruh ideologi radikal. Pihak BNPT memandang, upaya penegakan hukum yang tertera dalam UU masih lemah, sehingga perlu mengutamakan program deradikalisasi, agar ideologi radikal tidak mudah menyebar di berbagai kalangan masyarakat.

Sebenarnya memang lebih utama mencegah aksi terorisme, ketimbang menangani terorisme ketika aksi teror sudah terlanjur terjadi dan memakan korban. Namun, tindakan pencegahan itu bukan cuma bersifat penangkapan terduga teroris oleh aparat polisi atau intelijen, tetapi bisa juga lewat jalur pendidikan dan kebudayaan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan, pihaknya akan menerbitkan panduan singkat mengenai cara memerangi terorisme lewat dunia pendidikan. Panduan itu akan terdiri atas dua bentuk. Yakni, panduan untuk guru dalam berbicara dengan siswa tentang kejahatan terorisme, dan panduan bagi orangtua untuk bicara tentang terorisme dengan anaknya. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, komunikasi yang baik antara anak dan orangtua maupun antara anak dan guru dapat mencegah anak ikut paham radikal, yang mendukung terorisme. ***

Artikel ini ditulis oleh: