Polda Maluku
Ilustrasi (ist)

Jakarta, Aktual.com – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Barat menyatakan ada dua korban gempa Lombok dan sekitarnya yang mengalami kekerasan berbasis gender, yaitu percobaan perkosaan dan pelecehan seksual.

“Saat ini kasusnya sudah ditangani Polda Nusa Tenggara Barat (NTB). Satu kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan,” kata Koordinator Divisi Advokasi dan Hukum Joko Jumadi dihubungi dari Jakarta, Jumat (24/8).

Ia menambahkan kasus pertama terjadi setelah gempa pertama, yaitu seorang anak perempuan berusia 13 tahun, warga Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, yang dilecehkan secara seksual oleh seorang dukun.

Menurutnya masyarakat Sasak memiliki kebiasaan membawa anak yang trauma ke seorang dukun untuk diobati. Biasanya pengobatan berupa didoakan dan diusap bagian dahi dan kepala.

“Ternyata, korban diajak ke kamar mandi dan diminta membuka bajunya dan dilecehkan. Sebelum pelaku bertindak lebih jauh, korban sudah berhasil melarikan diri,” jelasnya.

Ia menerangkan pelaku sudah ditangkap dan kasus tersebut sudah dilimpahkan ke kejaksaan oleh Polda NTB.

Sedangkan kasus kedua dialami perempuan berusia 20 tahun, warga Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, yang dilakukan oleh teman dekat korban.

Saat itu, korban diajak ke Kota Mataram untuk membetulkan ponselnya yang rusak. Ternyata, bagian yang diperlukan untuk membetulkan ponselnya tidak ditemukan.

“Korban kemudian diajak ke sebuah rumah di Kecamatan Tanjung. Alasan pelaku ada keperluan dengan bosnya,” katanya.

Di rumah tersebut, ternyata memang orang dimaksud bos itu memang ada. Ketika si bos pergi meninggalkan rumah, pelaku kemudian mengunci pintu rumah dan berusaha memperkosa korban.

“Korban meronta dan berteriak sehingga pelaku gugup. Korban kemudian berhasil melarikan diri dan melaporkan kejadian itu ke polisi,” tambahnya.

Kasus tersebut kemudian ditangani Polda NTB. Polda menyatakan akan segera menangkap pelaku.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nyimah Aliah mengatakan perempuan rawan mengalami kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.

“Pada situasi normal saja kekerasan terjadi cukup tinggi, apalagi pada situasi darurat dan bencana,” kata.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: