Meskipun kolonialisme klasik berupa penjajahan lansung asing terhadap negara-negara sasaran sudah beralih jadi penjajahan gaya baru, namun market atau pasar yang mereka tawarkan masih tetap sama. Konflik bersifat sektarian alias SARA terhadap negara sasaran masih tetap ditrapkan hingga kini.
Pada waktu Perang Dingin (1950-1989), negara-negara adikuasa baik blok Barat maupun Blok Timur mengaduk-aduk negara-negara yang jadi target kolonialisme melalui benturan ideologi antara Kapitalisme versus Komunisme.
Usai Perang Dingin, sesungguhnya market kolonialisme tak lagi membenturkan antarideologi lagi namun bergeser menjadi ‘benturan peradaban’ sebagaimana rekomendasi Samuel P Huntington dalam buku Clash of Civilization.
Inilah era penjajahan gaya baru. Manajemen tidak lagi menghadapkan Kapitalis versus Monarkie seperti pada PD I, atau membenturkan Kapitalis melawan Fasis dalam PD II, ataupun mengadu antara Kapitalis vs Komunis pada Perang Dingin lalu. Market pada penjajahan gaya baru adalah benturan antara Kapitalis vs Islam (militan). Itulah benturan antarperadaban Barat vs Islam.
Kendati secara hakiki, Islam itu rahmat bagi seluruh alam. Itu frase dari Tuhannya. Tetapi ketika dibawa ke ranah (geo) politik, pasar pun terbuka lebar. Berserak bahan-bahan devide et impera. Mau pilih Islam radikal, Islam modern, Islam fundamental, atau pilih menu Islam tradisional?
Seyogyanya umat muslim tidak terpancing dalam skema tersebut. Jangan lagi ditambah fabrikasinya seperti Islam nusantara, Islam sejati, garis lurus, dan seterusnya. Sehingga larut pada skema pasar kolonialisme.
Segenap komponen bangsa di negara target kolonialisme, lazimnya dibuat lupa dan abai —deception— bahwa ujung kegaduhan tersebut adalah mencaplok geoekonomi yang intinya penguasaan food and energy security (pangan dan ketahanan energi). Istilahnya what lies beneath the surface. Di atas permukaan dibikin lucu-lucuan. Bising. Gaduh. Sedang di bawah permukaan dan tersirat — dirampas secara diam-diam.
Pertanyaannya sederhana, “Berapa juta ton emas Papua telah digali, sedang tak sedikit warganya masih memakai koteka? Berapa juta barel minyak dan gas Indonesia disedot, sementara kita malah impor?” Belum lain-lain dibidang pangan/sembako misalnya, atau kelautan, kehutanan, pertanian, perkebunan, dll.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute.