Jakarta, Aktual.com –  Pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri dkk merasa gembira karena Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan yang mempersoalkan aturan penetapan capres terpilih dalam Pilpres apabila hanya diikuti 2 paslon.

Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5/2019 yang berbunyi:
Dalam hal hanya terdapat 2 Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.
MA dalam putusan perkara nomor 44 P/HUM/2019, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UU Pemilu dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan itu diketok pada 28 Oktober 2019 atau 4 bulan setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019. Sementara putusan lengkapnya baru diunggah pada 3 Juli 2020.
“Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” bunyi putusan perkara yang ditangani Supandi selaku ketua majelis serta Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono masing-masing sebagai anggota.
Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5/2019 yang berbunyi:
Dalam hal hanya terdapat 2 Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.
MA dalam putusan perkara nomor 44 P/HUM/2019, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UU Pemilu dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan itu diketok pada 28 Oktober 2019 atau 4 bulan setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019. Sementara putusan lengkapnya baru diunggah pada 3 Juli 2020.
“Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” bunyi putusan perkara yang ditangani Supandi selaku ketua majelis serta Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono masing-masing sebagai anggota.
Bunyi lengkap UU Pemilu sebagai berikut:
1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 jumlah provinsi di Indonesia;
2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
MA menilai syarat dalam UU tersebut mencerminkan presiden yang dipilih rakyat haruslah mencerminkan presiden yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam Pilpres.
“Baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi dan pasangan calon capres/cawapres dalam konstelasi pilpres tidak hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah padat penduduk saja. Sedangkan daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (luas secara geografis namun sedikit jumlah pemilihnya) terabaikan dan tidak terakomodir keinginan serta aspirasinya dalam proses kampanye mengenai visi, misi, dan program masing-masing peserta Pilpres, oleh karena Presiden Republik Indonesia ialah sebagai lambang NKRI dan simbol pemersatu bangsa,” jelas MA dalam pertimbangannya.
MA menambahkan, apabila syarat tersebut tidak diterapkan dalam Pilpres mendatang, bukan tidak mungkin ke depan capres-cawapres hanya fokus memenangkan Pilpres di daerah-daerah strategis saja seperti pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar.
“Sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority yang tentunya justru bertolak belakang dengan maksud dibuatnya UU Pemilu yang merupakan penjabaran ulang terhadap norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945,” ucap hakim MA.
Sementara itu Komisioner KPU, Hasyim Asy’ari, menilai putusan MA tersebut tak membatalkan hasil Pilpres 2019 yang menempatkan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang.
Sebab, Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres 2019 mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum, tepatnya sebanyak 85.607.362 suara atau 55,50%.
Selain itu, kata Hasyim, paslon Jokowi-Ma’ruf juga unggul di lebih dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Dalam Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf menang di 21 provinsi, sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi.
“Hasil Pilpres 2019 dengan pemenang Paslon 01 Jokowi-Amin sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan (electoral formula) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6A UUD 1945 (konstitusional)” ucap Hasyim dalam keterangannya.
Adapun Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan syarat sebaran suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia pernah dibahas di MK pada 2014. Saat itu pihaknya menguji aturan yang tercantum di Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres.
Titi menggugat pasal tersebut lantaran Pilpres 2014 hanya diikuti 2 paslon yakni Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Ia menilai ketentuan harus ada putaran kedua jika tak memenuhi syarat hanya memboroskan anggaran dan memicu ketidakstabilan politik.
MK akhirnya memutuskan syarat dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang Pilpres hanya diikuti dua paslon.