Jakarta, Aktual.co — Siapa yang tak kenal dengan nama Mahatma Gandhi? Gandhi adalah salah satu founding fathers negara besar India. Gandhi, yang awalnya adalah ahli hukum lulusan kolonial Inggris itu, kemudian telah bertransformasi menjadi tokoh kemerdekaan India  dan pejuang gerakan tanpa kekerasan. Sampai saat ini Gandhi masih menjadi sumber inspirasi dan rujukan bagi berbagai orang di seluruh dunia bagi gerakan tanpa kekerasan.
Namun Gandhi, penganut Hindu yang taat ini, adalah juga tokoh yang mengedepankan toleransi antar umat beragama. Di zaman itu, tahun 1946, di India sedang terjadi konflik berdarah besar antara umat Hindu dan Muslim, yang menimbulkan banyak korban tewas.  Konflik ini berujung pada pemisahan diri warga Muslim, yang lalu membentuk negara Pakistan pada Juli 1947.
Kalau Anda sempat menonton film Gandhi, Anda akan bisa menangkap aura suasana Gandhi hidup saat itu. Film pemenang Oscar itu dimainkan oleh aktor Inggris keturunan India, Ben Kingsley, sebagai pemeran Gandhi. Kingsley bermain sangat apik dan menjiwai, sehingga mendapat penghargaan Oscar untuk perannya sebagai Gandhi dalam film itu.
Dalam film itu, kita bisa melihat bagaimana Gandhi dengan susah payah berusaha membujuk tokoh-tokoh Muslim, agar jangan sampai memisahkan diri dari India. Gandhi menganggap semua perbedaan dan konflik kepentingan masih bisa diselesaikan dan dirundingkan, untuk memperoleh solusi bersama. Namun, saat itu tampaknya jurang perbedaan sudah terlalu jauh, sehingga tokoh-tokoh Muslim India melihat tidak ada alternatif yang lebih baik bagi umat Islam, kecuali memisahkan diri dari India yang mayoritasnya beragama Hindu.
Gandhi, meski dirinya sendiri adalah penganut Hindu yang taat, memiliki toleransi yang sangat tinggi. Kualitas toleransi Gandhi bisa dilihat dalam kisah di bawah ini, yang penulis kutip dari buku Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi (2014).
Suatu ketika, Nahari, seorang penganut Hindu fanatik menemui Gandhi, dan di depan Gandhi ia lalu bersimpuh dan menangis. “Mahatma, aku berdosa. Aku membunuh bocah. Aku benturkan kepalanya ke dinding,” ujar Nahari.
“Mengapa kau lakukan itu?” tanya Gandhi.
“Karena mereka juga membunuh anakku. Kaum Muslim itu membunuh satu-satunya anak lelakiku yang Hindu.”
“Mengapa kamu ingin menemuiku?”
“Jiwaku tersiksa, Mahatma. Tolong selamatkan jiwaku.”
“Ini satu-satunya cara menyelamatkan jiwamu,” jawab Gandhi. “Carilah seorang anak, yang ayah dan ibunya juga terbunuh. Kau rawat anak itu seperti anakmu sendiri. Pastikan anak itu seorang Muslim. Walau engkau Hindu yang taat, tapi kau harus merawat anak itu tumbuh menjadi Muslim yang baik.”
Kisah Gandhi ini sekarang sering dikutip sebagai contoh kisah kearifan atas keberagaman. Tidak begitu jelas, apakah Nahari kemudian betul-betul melaksanakan nasihat Gandhi tersebut dan bagaimana kelanjutan kisahnya. Namun, kisah ini memang sangat bermakna dan patut dibaca oleh kita warga Indonesia, yang terdiri dari begitu banyak ras, etnis, agama, bahasa, dan budaya.
Kita sudah terlalu sering membaca berita tentang kekerasan antar umat beragama atau antar etnis di Indonesia. Bahkan orang-orang yang beragama sama pun bisa terlibat konflik keras karena beda aliran, beda sekte, atau sekadar beda kepentingan, untuk menguasai kepemimpinan partai politik dan jabatan di DPR!
Saya berandai-andai, seumpama separuh saja kearifan Mahatma Gandhi ini bisa kita teladani dan kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin jumlah konflik dan kekerasan antar warga di Indonesia bisa sangat jauh berkurang. Dengan demikian, energi melimpah dari bangsa besar ini bisa lebih difokuskan pada hal-hal yang produktif dan bermanfaat bagi sesama. Semoga! ***

Depok, 5 November 2014
Satrio Arismunandar
Redaktur Senior Aktual.Co
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com

Artikel ini ditulis oleh: