Diskusi publik dengan tema "Seruan Ahlul Qiblat dan Ikhtiar Menguatkan Dialog Intra Islam" digelar oleh Majelis Hukama Muslimin (MHM) pada Islamic Book Fair (IBF) 2025 di Jakarta, Sabtu (21/6/2025). ANTARA/HO-Majelis Hukama Muslimin/aa.

Jakarta, aktual.com – Majelis Hukama Muslimin (MHM) menekankan pentingnya akhlak dan moral dalam seminar yang diselenggarakan di Islamic Book Fair (IBF) 2025 dengan tema “Seruan Ahlul Qiblat dan Ikhtiar Menguatkan Dialog Intra Islam”.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafiq Mughni yang menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut menyampaikan pentingnya khaira ummah atau menjadi seorang umat yang terbaik di masa kini, dengan banyaknya tantangan yang dihadapi di dunia Islam.

“Di samping penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ada juga persoalan akhlak. Sesungguhnya kejayaan umat tergantung akhlaknya. Kalau akhlaknya hancur, hancur juga bangsa itu,” kata Syafiq dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (22/6).

Ia menekankan dua hal penting yang perlu dimiliki oleh umat Islam untuk menjadi khaira ummah, yakni penguasaan ilmu pengetahuan yang diimbangi dengan akhlak dan moral.

“Kalau umat Islam memiliki pengetahuan yang rendah, atau yang sedang-sedang saja, maka ini tidak mungkin bisa bergerak menjadi khaira ummah,” ujar Syafiq.

Menurut dia, dunia saat ini sudah bergerak sangat dinamis, utamanya dengan hadirnya teknologi yang semakin memajukan ilmu pengetahuan, sehingga, umat Islam harus terus mampu beradaptasi.

Ia mengemukakan, ilmu pengetahuan dan akhlak memang tidak selalu berjalan seiring atau pararel, karena akhlak bisa mengalami fluktuasi tergantung dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam sebuah masyarakat.

“Masyarakat yang rendah ilmu pengetahuannya bisa jadi memiliki akhlak yang luhur, sebaliknya masyarakat yang maju ilmu pengetahuannya bisa jadi memiliki akhlak yang rendah, jadi ada pasang surut. Oleh karena itu, umat Islam yang disebut sebagai khaira ummah itu mesti punya ilmu pengetahuan yang luas dan kemajuan teknologi yang berkembang, serta akhlak,” paparnya.

Kualitas moral, lanjut Syafiq, juga akan berpengaruh pada cara menyikapi perbedaan, apakah cenderung ekstrem kiri atau kanan, atau wasathiyah (moderat atau seimbang). Untuk bisa mempraktikkan Islam yang wasathiyah, perlu meningkatkan kualitas moral dan kualitas ilmu pengetahuan.

“Semakin hari, kita harus terus belajar semakin baik, wawasan kita harus semakin luas, sehingga tidak mudah untuk mendiskreditkan dan mengkafirkan orang lain,” tuturnya.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid yang juga menjadi pembicara dalam acara tersebut mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan berkah luar biasa dalam bentuk keragaman sehingga Islam di Indonesia begitu inklusif.

Menurut dia, sebagai sebuah negara Indonesia terdiri atas banyak pulau dan suku. Islam yang menyebar di Indonesia merupakan ajaran yang membuat masyarakat sudah terbiasa dengan perbedaan. Apalagi, sebagian besar ulama di Indonesia belajar ke Makkah dan Madinah pada abad 17 dan 18 dalam suasana yang sangat inklusif.

“Semua mazhab ada, sehingga perbedaan mazhab itu juga terbawa sampai sekarang di Indonesia dan terbiasa saling menghormati,” ucapnya.

Alissa Wahid mengemukakan, jika umat Islam di Indonesia ingin mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, maka ada tiga ukhuwah yang harus dipelihara, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah insaniyah atau basyariyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan).

Salah satu poin penting dalam seruan Ahlul Qiblah, atau sesama umat Muslim yang menghadap kiblat, menurut Alissa adalah keharusan menjaga persatuan antaraliran, golongan di dalam Islam, dan harus peka terhadap ujaran kebencian dan penghinaan terhadap kelompok yang berbeda.

“Islam mengajak semua pihak untuk tidak terjebak pada klaim kebenaran dan sikap eksklusif, serta terus menghidupkan ukhuwwah Islamiyah, wathaniyah, dan basyariyah,” ujar Alissa.

Mengutip pandangan Gus Dur, Alissa juga mengatakan bahwa ada dua pilar masa depan peradaban Islam, yaitu masyarakat Timur Tengah sebagai tanah kelahiran Islam, dan kedua masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, sebagai tempat berkembangnya Islam di tengah keberagamaan.

“Maka, apa yang akan terjadi pada umat Islam di Indonesia akan berpengaruh terhadap peradaban Islam di dunia,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain