Menyusul persekutuan strategis Republik Rakyat Cina dan Rusia pada 2001, kemudian Brazil dari Amerika Latin dan India dari Asia Selatan, dua negara yang masih masuk kategori negara berkembang, bersepakat membentuk persekutuan strategis dengan mengikutsertakan Cina dan Rusia. Maka terbentuklah BRIC(Brazil, Rusia, India dan Cina). Belakangan ikut bergabung Afrika Selatan. Sehingga jadi BRICS.

 

Namun menyusul terpilihnya presiden sayap kanan Brazil Jair Bolsonaro, nasib keutuhan dan kekompakan kelima negara anggota BRICS sepertinya sekarang berada di simpang jalan. Kalangan yang memandang BRICS sebagai kontra skema terhadap persekutuan strategis ekonomi-perdagangan blok Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, berharap yang terpilih pada pilpres Brazil akhir Oktober lalu adalah Fernando Hadad yang berhaluan nasionalis kiri. Adapun Jair Bolsonaro, mendapat dukungan dari para pengusaha pemilik modal kuat dan kelas menengah maupun militer.

 

Menelisik tren yang berkembang belakangan ini, Brazil dan Afrika Selatan terancam untuk keluar dari persekutuan BRICS. Peter Koenig, analis geopolitik dan ekonomi, menulis di situs  https://www.globalresearch.ca/brics-future-limbo/5659498 bahwa Brazil sebagai negara pada peringkat ekonomi kelima terbesar, diyakini tidak akan berkomitmen lagi bersama BRICS.

Afrika Selatan, lanjut Peter Koenig, komitmennya untuk tetap bersekutu dalam  BRICS juga dalam tanda tanya besar. Saat ini keadilan sosial di Afrika Selatan benar-benar dalam tingkat yang amat buruk sejak berakhirnya rejim Apartheid. Pembagian kekuasaan dan uang di Afrika Selatan sama sekali belum mengalami perubahan signifikan. Lebih buruk lagi, 80 persen kepemilikan tanah masih berada di tangan para pemilik modal yang notabene berkulit putih.

 

Analisis Peter Koenig terkait Afrika Selatan ini sebenarnya bukan hal mengejutkan mengingat dalam biografi mantan Presiden dan pemimpin pergerakan anti Apartheid Nelson Mandela, pemimpin African National Congress itu tidak secara tegas mengaitkan terjadinya imperialisme di Afrika Selatan dengan keberadaan kapitalisme. Meski Mandela secara tegas mengaitkan diskriminasi rasial di Afrika Selatan dengan imperialisme, namun Mandela tidak cukup jelas mengaitkan imperialisme dan kapitalisme di Afrika Selatan.

 

Alhasil, masyarakat mayoritas kulit hitam Afrika Selatan saat ini menilai bahwa di era demokrasi pasca Apartheid saat ini, sistem ekonomi dan politik masih saja eksploitatif dan menindas.

 

Terlepas kesaksian beberapa elemen masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan seperti terdokumentasi oleh Peter Koenig bahwa kondisi sosial-ekonomi saat ini lebih buruk daripada di era Apartheid menurut saya sangat berlebihan, namun seperti halnya tren di Brazil menyusul terpilihnya Bolsonaro, ada kecenderungan kuat di kedua negara untuk menggeser pendulum dari kiri-tengah ke haluan sayap kanan.

 

Dalam konstelasi demikian, BRICS sebagai skema untuk menandingi dominasi dan hegemoni AS dan Blok Barat terancam bubar. Artinya, BRICS bisa jadi akan menjadi RIC. Rusia, India dan Cina. Bahkan India pun berpotensi untuk melepaskan diri dari BRICS.

 

Indikasinya, beberapa waktu belakangan Perdana Menteri India Narendra Modi sepertinya ibarat mengikuti angina bertiup. Satu sisi menyenangkan kepentingan AS, pada sisi lain tetap berkomitmen dengan Cina dan India.

 

Misal, pada 6 September lalu, AS dan India menandatangani kerjasama keamanan. Meskipun agenda tersembunyi di balik penandatangan kerjasmaa itu dimaksudkan untuk merangkul India menghadapi Cina dalam skema Indo Pasifik. Implikasi dari kesepakatan kerjasama AS-India ini, mulai sekarang kedua negara bisa tukar-menukar berbagai teknologi sensitif khususnya di bidang pertahanan dan kemiliteran.

 

Hal ini tentu saja bisa dibaca sebagai sikap tidak stabil dari India untuk mempertahankan soliditas persekutuan negara-negara BRICS. Barang tentu, perkembangan tersebut bukan hal yang menyenangkan bagi Cina dan Rusia. Tidak menguntungkan bagi kelangsungan skema Shanghai Cooperation Organization (SCO) maupun BRICS.

 

Agaknya, Washington berhasil melakukan politik pecah-belah antar negara-negara BRICS. Padahal, BRICS sejatinya merupakan sarana yang efektif untuk mendandingi skema unilateralisme pemerintahan Donald Trump yang saat ini semakin menjadi-jadi. Dalam KTT BRICS di Johannesburg Afrika Selatan Juli lalu, baik Rusia maupun Cina sangat keras berlanjutnya Unilateralisme AS.

 

Bahkan pada KTT BRICS 25 Juni lalu, Unilateralisme AS jadi isu sentral perbincangan kelima negara tersebut.  Presiden Cina Xi Jinping mengatakan bahwa unilateralisme dan proteksionisme yang sedang meningkat saat ini menjadi pukulan telak bagi multilateralisme dan sistem perdagangan multilateral. Xin Jinping dalam pidatonya menegaskan bahwa pihak yang berambisi melakukan hegemoni ekonomi, pada akhirnya akan menghadapi bumerang dari sepak terjangnya sendiri.

 

Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengumandangkan pernyataan yang senada dengan Presiden Jinping. Pemimpin Cina dan Rusia berkeyakinan bahwa transformasi internasional dan realitas tatanan ekonomi global dewasa ini menegaskan urgensi untuk membangun kerjasmaa multilateral. Sebab  saat ini  sedang dirongrong oleh upaya unilateralisme AS. Apalagi ketika  Trump saat ini sedang memaksakan peran dan posisinya sebagai polisi dunia bagi seluruh negara.

 

Cina dan Rusia sepakat bahwa unilateralisme AS pada gilirannya akan menjadi ancaman bagi  keamanan dan perekonomian global. Sebab kendali hanya berada di satu kekuatan saja.

 

Bahkan Putin menambahkan, Putin menilai sepak terjang AS akan menciptakan hambatan dalam upaya menjalankan tugas Dewan Keamanan PBB serta bakal  menyulut peningkatan instabilitas di arena internasional.

 

Sehingga baik Cina maupun Rusia bersepakat  bahwa berbagai blok kerjasama yang seperti BRICS, Organisasi Kerja sama Ekonomi Shanghai, Uni Ekonomi Eurasia, dan Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif, harus dipertahankan. Sebab semua blok kerjasama itu merujuk pada skema SCO yang dimotori Cina dan Rusia.

 

Menyadari potensi blok-blok kerjasama baru besutan Cina dan Rusia itu untuk melahirkan kekuatan-kekuatan internasional baru, AS justru semakin bersikeras mempertahankan hegemoninya dengan menghalang-halangi kemunculan aktor-aktor internasional baru tersebut.

Artikel Peter Koening bertajuk BRICS: A Future in Limbo? boleh jadi terlalu berlebihan, bahkan terkesan mengondisikan terciptanya perpecahan antar-negara anggota BRICS. Namun hal itu juga menyiratkan adanya sebuah operasi senyap untuk melemahkan BRICS sebagai sarana kemunculan kekuatan-kekuatan internasional baru menggantikan kekuatan-kekuatan usang produk dari Bank Dunia dan IMF, maupun skema ekonomi Washington Consensus.

Bagi Indonesia, meski tak terkait langsung dengan BRICS maupun SCO, kalau sampai blok alternatif itu bubar, kita akan kehilangan inspirasi dan momentum untuk bangkit bersama negara-negara berkembang sebagai kekuatan keseimbangan baru di tataran regional maupun global. Seperti halnya ketika Indonesia memelopori terbentuknya Solidaritas Asia-Afrika pada 1955 di Bandung maupun Gerakan Nonblok di Beograd 1961.

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.