CEO Freeport McMoran Richard Adkerson (ketiga kiri) bersama Direktur Utama Inalum Budi Gunadi (ketiga kanan) melakukan penandatangan Head of Agreement (HoA) dalam rangka pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia Perjanjian awal berupa Head of Agreement (HoA) disaksikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (12/7). Pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) merogoh kocek US$3,85 miliar atau setara Rp55 triliun (asumsi kurs Rp14.400 per dolar AS) untuk menggenggam 51 persen saham PT Freeport Indonesia. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Melalui kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) per 12 Juli 2018, Pemerintah telah menandatangani Head Of Agreement (HOA) dengan pihak PT Freeport.

Peristiwa ini begitu menggelora diberitakan oleh media massa bahwa dinyatakan Pemerintah sejak tahun 1967 memulai Kontrak Karya (KK) dengan Freeport disebut telah berhasil mengambil alih kembali tambang di Tembagapura, Provinsi Papua itu.

“Jelas sekali bahwa euphoria (kegembiraan berlebihan) ini adalah sesuatu yang absurd atas fakta Kontrak Karya sekalipun yang menjadi dasar pengelolaan lahan tambang itu oleh Freeport, selain 9,36% saham sudah dimiliki Indonesia sejak dulu,” kata ekonom konstitusi Defiyan Cori dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada Aktual.

Menurut Defiyan, info ini bisa saja menyimpangkan substansi KK, bahwa tanah dan lahan tambang itu sejatinya memang milik Indonesia, bukan milik korporasi Freeport. KK yang dipegang, katanya, adalah bukti hukum bahwa mereka sedang mengontrak bukan memiliki apalagi menguasainya.

Terlebih, jelas Defiyan, terdapat pasal ekonomi konstitusi yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945. Pasal ini harus ditegakkan oleh Pemerintah secara teguh dan konsisten sebagai kesepakatan bersama (common denominator).

“Pemerintah memang harus mengkonsolidasikan unit-unit usaha (business unit) BUMN yang bergerak di sektor pertambangan sebagai industri strategis untuk memperoleh kembali penguasaan saham PT Freeport lebih besar dari sebelumnya melalui HOA,” jelasnya.

Jika separuh dari saham PT Freeport dapat dikuasai, maka perusahaan BUMN akan semakin tangguh dan kuat menghadapi persaingan dengan perusahaan atau korporasi swasta dan asing yang bergerak dalam industri sejenis.

“Tentu saja upaya ini harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan rakyat Indonesia, sebab ini merupakan gerakan koordinasi BUMN untuk semakin menyatu sesuai dengan bentuk negara kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ucap akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Sebagaimana diketahui, tahapan penyerahan saham 51% oleh PT Freeport kepada BUMN Inalum telah dilakukan oleh Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Keuangan, Menteri ESDM dan Menteri BUMN, dan diantaranya 10% diberikan kepada Pemda Papua.

Defiyan mengkritisi dasar pemikiran yang melandasi Kementerian ESDM menerima percepatan sekama penguasaan saham 51%, dalam sisa kontrak yang tinggal tiga tahun lagi. Artinya, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengambil alih 100% pengelolaan tambang di Tembagapura, Papua, jika mau sedikit bersabar dan menunggu tiga tahun lagi.

Padahal, kata Defiyan, seharusnya pemerintah telah melakukan kajian mendalam terkait opsi-opsi yang harus diambil terkait masalah ini.

“Seperti melakukan analisis SWOT, melakukan penilaian konsolidatif atas nilai buku asset Freeport (termasuk depresiasi dan amortisasi), bahkan menghadapi kemungkinan langkah arbitrase yang akan dilakukan Freeport jika tak menerima keputusan Pemerintah,” urainya.

Defiyan sendiri berpandangan, langkah terbaik yang dimiliki Indonesia adalah menyelesaikan KK yang habis dan kemudian mengambil alihnya (take over) lahan tambang di Tembagapura tersebut.

Terlebih, nilai saham Freeport sudah anjlok sejak tiga tahun terakhir. Penguasaan 51% saham ini, tambah Defiyan, malah justru ‘membantu’ pihak PT. Freeport untuk mendongkrak nilai sahamnya.

Tidak hanya itu, keanehan lainnya adalah negara melalui BUMN Inalum yang berutang dalam melakukan penguasaan saham PT. Freeport.

“Mengapa tidak Freeport yang berutang, lalu baru memberikan bahagian sahamnya? Terlebih lagi, porsi saham 51% itu atau separuh yang diperoleh Inalum itu hanya akan memperoleh imbal balik lewat pembagian laba dan lain-lain terbatas sampai tahun 2041,” beber Defiyan.

“Sementara, apabila pasca 2021 saat berakhirnya Kontrak Karya, maka negara akan memperoleh penguasaan penuh 100%,” tegasnya.

Lebih lanjut, Defiyan berpendapat, jika negara tidak memiliki posisi yang begitu kuat, sebaiknya 51% yang akan didivestasikan melalui utang itu tidak seharusnya dibebankan kepada negara, dalam hal ini adalah PT Inalum -walaupun sejatinya pemerintah memiliki posisi tawar yang relatif kuat dalam negosiasi ini.

“Hanya saja pemerintah harus melepaskan motif berburu rente dari pihak-pihak tertentu dan demi kepentingan kekuasaan di Pemilu 2019 yang berjangka pendek dengan mengabaikan kepentingan kemandirian ekonomi bangsa dan serta seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.

Secara tersirat, Defiyan menyatakan pesimis hal itu akan tercapai lantaran ia menduga Presiden telah ‘dikibuli’ dan ‘dijerumuskan’ oleh empat menteri dalam perpanjangan KK dan divestasi saham PT Freeport.

“Kita semua berharap Presiden memahami soal ini, jangan sampai publik menduga Presiden juga turut ‘menikmati’ utang untuk divestasi 51% itu,” ujar Defiyan seraya menyudahi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan