“Menetapkan mencabut hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik,” putus majelis sebagaimana dilansir dalam website MA, Rabu, 24 Juni 2015.
26 Koruptor Sudah Dicabut Hak Politiknya

Selepas projek itu, total dari 2013 hingga 2017, KPK berhasil meyakinkan hakim untuk mencabut hak politik 26 koruptor. “26 orang tersebut ada yang menjabat sebagai ketua umum dan pengurus parpol, anggota DPR dan DPRD, kepala daerah serta jabatan lain yang memiliki risiko publik besar jika menjadi pemimpin politik,” ujar juru bicara KPK, Febri Diansya, Selasa 18 september 2018.

KPK saat ini berpendapat pencabutan hak politik koruptor perlu dilakukan guna menekan potensi praktik-praktik korupsi ke depannya.

“Karena setelah diskusi dan analisis di KPK saat ini, ada risiko besar bagi publik jika terpidana dalam kasus tertentu menjabat sebagai pimpinan politik,” kata dia.
KPK memandang politisi yang terlibat dalam kasus korupsi sudah mencederai kepercayaan publik.

“Ketika mereka melakukan korupsi dalam jabatan dan kewenangan yang dimiliki tentu saja kami pandang hal tersebut telah mencederai kepercayaan yang diberikan dalam jabatannya,” kata dia.

KPK pun berharap agar langkah ini menjadi perhatian bersama seluruh penegak hukum baik dalam mengajukan tuntutan atau memberikan putusan di pengadilan.

“Jika memungkinkan dijadikan standar dan pembahasan di Mahkamah Agung (MA) agar menjadi pedoman bagi seluruh pengadilan Tipikor,” kata dia seraya menilai politik bersih dan berintegritas bisa terwujud dengan baik.

Drama Koruptor Nyaleg: KPU ‘Dikeroyok’

Berkaca pada langkah KPK untuk mewujudkan politk bersih dan berintegritas, sejatinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengambil langkah yang sama. KPU lantas mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.

Inti dari aturan itu yakni melarang terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu 2019 nanti.

Pada bagian Ketiga tentang Persyaratan Bakal Calon ayat 7 huruf H dikatakan jika yang boleh mencalonkan diri “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.

Hal inilah yang kemudian memancing para politisi senayan menolak aturan ini. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Parlemen pada tanggal 25 mei 2018, usulan KPU ditolak oleh sejumlah pihak seperti, pemerintah, Komisi II, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby