“Yang sekarang belum jadi koruptor kan belum tentu malaikat. Bisa saja dia karena belum ketahuan. Yang sudah mantan terpidana korupsi juga belum tentu akan melakukan itu lagi,” ujarnya beberapa waktu yang lalu.
Menurut Komarudin, norma dalam UU Pemilu Pasal 240 ayat 1 sudah mensyaratkan seorang mantan narapidana korupsi mengumumkan secara terbuka di media massa tentang rekam jejak kehidupannya. Menurutnya, itu sudah cukup sebagai bentuk pengawasan dan pendidikan politik bagi pemilih.
“Pemilih tentunya bisa memilah dan memilih siapa yang layak dipilih dan tidak,” kata Komarudin beragumen.
Drama berlanjut, para pihak yang menolak aturan itu lantas mengajukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pihak Bawaslu yang sejak awal menolak substansi pengaturan larangan tersebut menganulir PKPU a quo. Melalui sengketa ajudikasi di Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi, Bawaslu mengabulkan permohonan pemohon dan memerintahkan KPU untuk menerima pencalonan para mantan napi tersebut.
Ketika itu Bawaslu mendalilkan sama dengan pemerintah yakni, aturan itu bertentangan dengan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Bawaslu juga berargumentasi bahwa putusan mereka dalam rangka menegakkan supremasi hukum pemilu meskipun mengabaikan PKPU 20/2018 dan PKPU 14/2018.
Alhasil, seolah tak mau kalah KPU bersikukuh untuk tetap berpegang pada kedua PKPU tersebut. KPU kemudian mengeluarkan surat edaran bagi KPU daerah yang bersengketa ajudikasi untuk menunda (bukan tidak melaksanakan) terlebih dahulu pelaksanaan putusan Bawaslu sampai dengan keluarnya putusan uji materi di Mahkamah Agung (MA).
Di lain pihak Bawaslu menyatakan jika KPU tidak melaksanakan putusan mereka, maka berdasarkan Pasal 15 huruf j UU Pemilu, KPU dapat dianggap telah melanggar UU.
Seolah saling sandera akhirnya sikap kedua lembaga telah sampai pada titik kebuntuan.
Ujung dari drama ini, Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan gugatan para narapidana kasus korupsi, diantaranya mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati, Muhammad Taufik, Djekmon Ambisi, Jumanto, Masyhur Masie Abunawas, Abdulgani AUP, Usman Effendi, dan Ririn Rosiana. Tercatat ada 13 pengajuan uji materil PKPU 20 Tahun 2018.
MA membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD.
“Peraturan KPU tentang larangan mantan narapidana (korupsi) menjadi caleg telah diputus MA pada Kamis, (13/9) kemarin. Permohonan para permohon dikabulkan dan Peraturan KPU tersebut telah dibatalkan MA,” kata Suhadi saat dikonfirmasi, Jumat 14 September 2018.
Majelis hakim yang menyidangkan permohonan ini terdiri dari tiga hakim agung dari kamar tata usaha negara. Mereka yakni Irfan Fachrudin dengan anggota Yodi Martono dan Supandi.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby