Pengamat sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun mempunyai pandangan kenapa mantan narapidana korupsi tidak patut menjadi calon legislatif (caleg) dalam Pemilu 2019.
Salah satu yang paling mendasar menurutnya untuk mengembalikan marwah DPR. Ia menilai, citra DPR saat ini sedang terpuruk karena beberapa anggotanya tersangkut kasus korupsi. Salah satunya adalah Setya Novanto. Penetapan tersangka hingga penahanan terhadap mantan Ketua Umum Partai golkar itu bahkan membuat sejarah baru lantaran, langkah ini merupakan kali pertama yang dilakukan oleh KPK terhadap Ketua DPR aktif sepanjang 15 tahun lembaga anti-rasuah itu berdiri.
Poin selanjutnya menurut dia, larangan menjadi caleg bagi para mantan napi koruptor juga dimaksudkan untuk mengikis praktik korupsi sistemik yang kerap terjadi di DPR. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang larangan tersebut dimaksudkan agar sejak awal para caleg bebas dari rekam jejak koruptor.
Ketiga menurut dia, larangan tersebut juga memenuhi keinginan publik. “Ada semacam rasionalitas publik yang menghendaki larangan tersebut ditegaskan KPU,” ungkap dia.
Ubedilah mengungkapkan, keempat, KPU melalui larangan tersebut ingin mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Kalau kepentingan rakyat banyak itu berarti hukum tertinggi sebagaimana prinsip hukum Solus Populi Suprema Lex, yakni kepentingan rakyat banyak adalah hukum tertinggi.
Senada, Pengamat pemilu dari Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai aturan yang dibuat KPU tersebut sejatinya menguatkan poin-poin yang sebenarnya sudah tersirat dalam UU. Yakni salah satu tujuan pemilu adalah menciptakan pemerintahan bersih, dan berintegritas.
Sebab menurut dia, sejak awal ada syarat bahwa calon itu harus sehat rohani, meminta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), menyatakan tidak pernah dipidana pada kasus apapun.
Semua syarat administratif itu, dia menjelaskan, dimaksudkan agar pemimpin rakyat Indonesia adalah yang tercakap, tak pernah dipidana, mengerti moral dan kultur bangsa dan punya hasrat yang kuat untuk mengelola pemerintahan yang bersih dan terbuka.
Sementara Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor seperti dikutip dari media online nasional berpendapat bahwa, partai politik masih menerapkan pandangan pragmatisme ketimbang memenuhi harapan publik untuk menghadirkan kader yang bersih dan berintegritas.
“Mungkin dalam pandangan partai politik itu masih menerapkan pandangan legal formal, bahwa mereka yang koruptor sudah melalui tahapan hukuman, sehingga layak menerapkan sama sebagai warga yang lain,” ujar Firman, Kamis 20 september 2018.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby