“Dengan tanda itu pemilih terinformasi untuk menentukan memilih atau tidak,” kata Saut.
Wacana ini pun ditentang beberapa Partai Politik, salah satunya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Parpol besutan Muhaimin Iskandar ini menilai pemberian tanda di surat suara bagi caleg mantan narapidana korupsi sebagai tindakan diskriminatif.
“Kalau itu kami tidak setuju. Karena dengan kertas suara itu tidak boleh ada perbedaan antara caleg satu dengan yang lain. Diskriminatif. Tidak boleh ada,” jelas Ketua DPP PKB, Lukman Edy di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 17 September 2018.
Menurut dia, penandaan itu justru akan berpotensi membuat masyarakat akan mencoblos yang bersangkutan jika tak disertai sosialisasi yang masif oleh KPU terkait caleg eks koruptor ini. Karena itulah ia menyarankan agar KPU melakukan sosialisasi masif terkait hal ini.
“Misalnya distabilo merah orang ini, mantan napi koruptor. Apakah sosialisasinya sampai nanti di TPS bahwa yang stabilo merah ini mantan napi? Jangan-jangan nanti kalau masyarakat buka (surat suara), lho ini kayaknya ada tanda khusus, itu malah yang dicoblos,” jelasnya.
KPU sendiri diakhir drama memutuskan untuk mencoret opsi teresebut. Alasannya, KPU telah merampungkan desain surat suara yang proses pembuatannya melibatkan partai politik peserta Pemilu 2019. Desain surat suara itu juga sudah ditetapkan oleh KPU.
“Kalau (tanda) di surat suara tidak mungkin, sebab surat suara kan sudah kami launching, umumkan, kami sudah tetapkan seperti itu,” kata Ilham, di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 20 Septeber 2018.
Opsi dari Jokowi dan JK pun tidak bisa direalisasikan lantaran foto caleg tidak dicantumkan dalam surat suara. Opsi lain yang mungkin diambil, yakni mengumumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Bisa saja (diumumkan di TPS), bisa kami sampaikan. Sebab nanti akan pengalaman kami di TPS-TPS itu kan ada daftar calon, ada DCT yang kami umumkan dengan nama dan gambar dan asal parpol. Nah apakah nanti kami bisa beri tanda, mana caleg koruptor itu akan kami bicarakan lebih lanjut,” ujar Ilham.
Opsi itu pun belum ditetapkan secara resmi oleh KPU.
Kedepan kita akan lihat drama apalagi yang akan dimainkan dari teatrikal “Pantaskah Koruptor Dipilih?”
38 Mantan Narapidana Korupsi Lolos DCT
Kini setidaknya ada 38 mantan narapidana korupsi yang telah masuk dalam Daftar Calon Tetap (DCT) caleg Pemilu 2019. Daftar ini dikelarkan setelah KPU melakukan revisi terhadap dua PKPU. Kedua PKPU ini merupakan perubahan atas PKPU 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, serta PKPU 26 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD.
Revisi dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap putusan MA. KPU merevisi Pasal 45A ayat 1 (pencalonan DPR) dan Pasal 86A ayat 1 (pencalonan DPD) yang menerangkan eks napi koruptor dibolehkan menjadi caleg.
Sebanyak 38 eks napi korupsi ini terdiri dari caleg anggota DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Berikut nama-namanya:
Daftar eks napi korupsi caleg DPRD Provinsi, yaitu:
1. Partai Gerindra
Mohamad Taufik, dapil DKI 3
Herry Jones Kere, dapil Sulut
Husen Kausaha, dapil Malut
2. Partai Golkar
Hamid Usman, dapil Maluku Utara 3
3. Partai Berkarya
Meike Nangka, dapil Sulut 2
Arief Armaiyn, dapil Malut 2
4. Partai Perindo
Smuel Buntuang, dapil Gorontalo 6
5. Partai Amanat Nasional (PAN)
Abd Fattah, dapil Jambi 2
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby