Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun Ternate Margarito Kamis mengatakan pihak pembuat ataupun pengguna ijazah palsu harus dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

“Pemalsu dan pengguna ijazah palsu, keduanya adalah pelanggar hukum sehingga tidak ada alasan hanya menghukum salah satu pihak,” kata Margarito saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (17/6).

Pasal yang perlu diterapkan pada para pelaku tersebut, adalah 242 dan 243 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang keterangan palsu dan sumpah palsu.

Menurut Margarito, aturan tersebut adalah keharusan untuk diterapkan pada pengguna dan juga pembuat ijazah palsu.

“Justru salah jika tidak digunakan pada keduanya karena UU sendiri telah mengaturnya,” ujarnya.

Praktik jual beli dan penggunaan ijazah palsu tersebut, lanjutnya, terutama dalam mencari jabatan, tidak sesuai dengan cita-cita bangsa yang ingin memiliki suatu negara bersih dan akuntabel dengan pejabat yang jujur.

Ketika ditanya apakah perlu ada peningkatan hukuman untuk membuat efek jera bagi para pelaku, Margarito mengatakan bisa saja. Namun yang paling utama menurutnya adalah pemrosesan dan hukuman setimpal diterapkan.

“Dua-duannya harus ditindak dan diproses, karena dengan proses dan hukuman, sama artinya kita mencabut hak penggunaan ijazah palsu tersebut untuk digunakan dalam mencari jabatan,” ujarnya.

Terkait hukuman yang harus diberikan pada pejabat pemerintahan di kementerian dan lembaga, serta pejabat politik seperti kepala daerah, Margarito mengatakan mereka yang terlibat harus dicopot juga diberhentikan dari posisinya.

“Pejabat itu, baik pemerintahan dan politik, jika menggunakan ijazah palsu, seharusnya dicopot jabatannya dan diberhentikan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Margarito mengatakan calon kepala daerah dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, diatur agar pengguna ijazah palsu tidak bisa mencalonkan diri dan jika terpilih maka yang bersangkutan harus berhenti dari jabatannya.

“Jadi, jika menemukan kasus kejadian yang seperti itu, pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dan dihukum sesuai UU yang berlaku,” kata Margarito.

Artikel ini ditulis oleh: