pengangguran
pengangguran

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah diminta untuk bisa menekan laju harga pangan yang beberapa hari ini kembali menggila. Selain itu angka pengangguran terbuka yang masih tinggi juga harus menjadi prioritas pemerintah agar indikator kesejahteraan bisa membaik.

“Saat ini, kondisi indikator kesejahteraan masyarakat sepanjang 2016 masih menyiratkan banyaknya pekerjaan rumah yang tidak boleh diabaikan,” cetus ekonom INDEF, Ahmad Heri Firdaus ketika dihubungi, di Jakarta, Rabu (14/12).

Menurut Heri, mahalnya harga pangan akan mengganjal tujuan pemerintah dalam mrnciptakan kesejahteraan masyarakat tersebut.

“Makanya di tahun depan, pemerintah harus bisa menjaga stabilitas harga pangan, mengefisienkan tata niaga pangan, serta meningkatkan produksinya. Ini menjadi penting agar daya beli tetap terjaga, karena harga pangan bisa ditekan,” jelas Heri.

Sepanjang 2016, kata dia, harga pangan seperti daging sapi, cabai merah, jagung, relatif mengalami lonjakan harga yang tinggi. Untuk beras dan kedelai kendati mengalami fluktuatif harga, masih relatif tak terlalu tinggi.

Selain harus mengendalikan harga pangan, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, lanjut Heri, pemerintah harus mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi angka pengangguran.

Dalam catatan INDEF, kata dia, hingga Agustus 2016, jumlah angkatan kerja mencapai 125,44 juta orang dengan persentase yang menganggur sebanyak 7,03 persen. Kondisi ini memang menurun sedikit dibanding 2015.

Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah, sepanjang 2016 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) malah membengkak naik.

“Pada Februari 2016 TPT berada di level 5,5 persen lalu naik menjadi 5,61 persen, dengan jumlah pengangguran di perkotaan lebih banyak dibanding pedesaan. Makanya tahun depan pemerintah harus membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya,” ungkapnya.

Apalagi memang berdasar yang diolah INDEF, kata dia, sebesar 57,6 persen penduduk bekerja di sektor informal. Sebanyak 23,26 juta penduduk merupakan setengah pengangguran dan 8,97 juta bekerja separuh waktu.

Kemudian, persentase penduduk bekerja sebagian besar masih didominasi pendidikan rendah, hingga 60,24 persen. Hanya 27,52 persen dan 12,24 persen yang berpendidikan menengah dan tinggi.

Serta penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun dari 15,97 juta pada Februari 2016 menjadi 15,54 juta pada Agustus lalu.

“Jadi secara umum indikator ketenagakerjaan masih relatif buruk. Dengan begitu, perkembangan indikator kesejahteraan belum menunjukkan pencapaian yang memuaskan,” pungkas Heri.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka