Membedah jaringan komunitas Cina di Asia Tenggara, utamanya Indonesia, buku karya Sterling Seagrave, mantan wartawan investigasi di Asia asal Inggris, bertajuk Lords of the Rim. agaknya masih tetap merupakan rujukan yang amat penting. Khiususnya bila kita bermaksud cari tahu sejarah kedatangan orang-orang Cina Rantau ke nusantara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda.
Menariknya, menurut Seagrave, sejak abad ke-14 Cina sudah mullai membangun cikal bakal jaring laba-laba raksasa perdagangan di nusantara. Di kebanyakan pelaburah, tulis Seagrave, terdapat komunitas-komunitas kecil kaum pedagang Cina.Namun Namun di atas permukaan tidak ada tanda-tanda kalau mereka merupakan kesatuan sindikat yang kuat dan berbasis jauh di pelabuhan-pelabuhan Cina Selatan.
Sexara tersembunyi namun terorganisir, kaum pedagang Cina yang sejatinya merupakan sindikat-sindikat itu secara diam-diam telah membagi Asia Timur menjadi kawasan-kawasan komersial.
Satu catatan penting dari Seagrave yang penting digarisbawahi adalah, para Cina Rantau yang mengungsi ke Hindia Belanda yang kelak bernama Indonesia itu, pada umumnya berasal dari Cina Selatan. Ini fakta geografis yang kiranya amat penting bahkan dalam menjelaskan kiprah para taipan di Indonesia dewasa ini.
Mereka ini mengungsi ke Asia Tenggara karena tersingkir dari Cina Utara gara-gara pertarungan politik antar klan kekaisaran. Dengan begitu, karakter pembangkang pantai selatan yang melekata pada orang-orang Cina Selatan inilah yang mendorong mereka untuk mengungsi ke luar Cina daripada jadi korban penindasan salah satu klan yang berkuasa.
Sasaran pengungsian mereka adalah Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya (Malaysia), dan Indonesia. Sebagian besar Cina yang datang ke Jawa sebelum abad ke-19 adalah para pedagang Hokien dan Amoy.
Banyak orang Cina terlibat sangat dalam dalam perdagangan antarpulau, sehingga mereka kemudian berkembang menjadi sebuah imperium perdagangan. Adapun imperium perdagangan besar pertama Cina abad ke-19 di Indonesia adalah Kian Gwan (Sumber Makanan) yang didirikan pada 1863 oleh Oe Tiong Ham, seorang imigran Hokchio di Semarang, Jawa Tengah.
Dia menguasai pasar gula dunia melalui cabang-cabang di lima benua, lalu melakukan diversifikasi usaha ke bidang karet, perkapalan, dan pendanaan. Keberhasilan bisnis Oe Tiong Ham ini, kemudian menarik ribuan migran Cina lainnya menyusul ke Jawa, dan kebanyakan Hokchio dan Foochow.
Keberuntungan Cina di daerah Semarang dan sekitarnya ini, berkembang di bidang rokok beraroma cengkeh yang disebut kretek. Ini termasuk industri rumahan sampai 1920-an. Semula ini merupakan prakarsa seorang pribumi menjalankan pabrik cengkeh di Kudus, Jawa Tengah, dengan mempekerjakan sebanyak 10 ribu orang.
Cina kemudian mencium keuntungan bisnis dari cengkeh ini, sehingga kemudian mengembangkannya dalam skala industri. Maka kemudian, datanglah seorang pemuda Cina berusia 20 tahun, bernama Liem Soe Liong, dari pelabuhan Fooching.
Orang-orang di sana berbahasa Hokchia, subkelompok Hokchiu. Ketika orang-orang Cina berbahasa Hokchia ini merantau, mereka cenderung mengelompok dalam kelompoknya sendiri.Maka tak heran ketika Liem Soe Liong menjadi orang terkaya di Indonesia, maka Hokchia pun kemudian menjadi kumpulan orang orang terkaya di dunia. Mereka banyak menekuni tekstil, Dimana mereka punya kongsi sendiri, Yu Yong, dan bahkan tentara rahasianya sendiri.
Bertentangan dengan mitos bahwa Liem ketika datang ke Semarang merupakan pemuda dalam keadaan miskin dan butahuruf, namun pada kenyataannya klan dia sebenar sudah termasuk yang terkaya di Seamrang.
Sedari awal Liem yang termasuk dalam salah satu dari delapan Cina bermarga Liem, sudah merupakan kelompok bisnis yang terorganisir. Secara rutin mereka selalu berkumpul untuk menyusun perencanaan bisnis kuil leluhur besar Liem, yang dibangun pada 1881.
Liem yang ikut kakak lelakinya, yang punya bisnis kecil minyak kacang dan mulai melakukan diversifikasi, kemudian mulai memasok cengkeh untuk pabrik-pabrik kretek. Rahasia dagang mereka adalah mengimpor cengkeh-cengkeh yang lebih murah dari pulau berbentuk bintang laut, Sulawesi.
Selain naluri bisnisnya yang tajam, Liem juga punya pengetahuan luas tentang saluran-saluran maritim tradisional, dan koneksi-koneksi Cinanya yang luarbiasa di seluruh Asia Selatan dan Tenggara, sehingga mampu menghantarkannya pada kemitraan bersejarahnya dengan Jenderal Suharto, Presiden RI kedua.
Liem sangat memahami geopolitik maritim Indonesia dan mata-rantai internasionalnya, sehingga tahu persis jalur lalu-lintas kapal di Laut Cina Selatan Teluk Benggala maupun Laut Jawa.
Pada akhir Perang Kemerdekaan Indonesia pada 1949, Liem praktis sudah menjadi raja cengkeh di Jawa. Di Semarang inilah, Suharto mulai menjalin kemitraan strategis dengan Liem. Suharto menawari Liem mengambil alih kendali manajemen ekspor dan pemasaran barang-barang hasil rampasan dari Jepang yang sudah pulang ke negerinya. Sementara pihak militer memegang hak kepemilikan dan menyediakan lisensi, perizinan dan perlindungan.
Liem setuju tawaran yang diajukan Suharto, dan sebagai tanda jadi, orang orang Cina ini memasok pasukan Suharto dengan makanan, pakaian dan obat-obatan. Inilah landasan awal persekutuan jangka pangjan Suharto-Liem yang berakhir pada Mei 1998, ketika Suharto lengser dari kursi kepresidenan.
Inilah cikal bakal dari peran Cukong dalam perpolitikan nasional hingga saat ini. Sebagai pentolan perjanjian militer-cukong, Liem mendiversifikasikan usahanya di Jawa Tengah, dengan mendirikan Bank Windu Kencana, membeli Bank Central Asia (BCA), dan mendirikan kantor-kantor perusahaannya di Pecinan Jakarta. Ketika industri cengkeh Indonesia mandek, Liem beralh mengimpor cengkeh Afrika dari Zanzibar dan Madagaskar.
Namun pada akhirnya, Liem jadi raja konglomerasi Indonesia karena diberi hak monopoli dan semen di Indonesia. Dan diberi kemudahan untuk berutang dalam jumlah sangat besar dan lisensi ekspor oleh pemerintah. Sehingga Liem bisa memasukkan karet dan kopi tanpa membayar sepeserpun. Bahkan dari sana merambahk ke tekstil, perakitan mobil, eceran, dan pendanaan. Bahkan bank miliknya, BCA, menjadi bank terbesar di Indonesia.
Melalui jejak-jejak Liem inilah, bermuncullanlah konglomeat-konglmerat Cina lainnya Seperti Mochtar Riadi dengan LIPPO Group-nya, Dan melalui kongsi bisnisnya bersama Mochtar Riadi di sektor perbankan, membuat Liem tercatat sebagai salah satu orang terkaya di dunia.
Karena perusahaan dan konglomerasinya semakin berskala supranasional dan berbasis korporasi yang bersifat lintas negara, maka imperium bisnis Liem yang sekarang beralih ke Anthony Salim sebagai ahli waris Salim Group, sulit untuk diserang dari dalam negeri.
Inilah yang tidak diperhitungkan oleh Suharto. Bahwa orang Cina yang kemudian berkembang jadi sebuah imperium bisnis, pada perkembangannya kemudian menggurita jadi imperium politik atau kartel politik. Ketika pada akhir 1980an Presiden Suharto meminta tanggungjawab Liem dan para konglomerat Cina yang dibesarkannya menyumbang 20 persen keuntungannya bagi pengusaha kecil, Liem sontak menolak dengan dalih tidak tepat membantu pengusaha kecil atas dasar belas kasihan.
Sejak saat itu hubungan Suharto-Liem merenggang, dan pada Mei 1998 yang didahului dengan rusuh sosial yang berdarah, baik Suharto dan Liem sama sama runtuh dari singgasana kekuasaan. Suharto runtuh di singgasana poliitik, sedangkan Liem runtuh dinasti bisnisnya di Indonesia. Meskipun kemudian memindahkan operasi bisnisnya di Singapura.