Panitia Lima. (ilustrasi/aktual.com)

TIDAK banyak orang ingat bahwa Presiden Soeharto pernah menugasi para Angkatan 1945 untuk membuat tafsiran mengenai Pancasila. Tidak banyak yang tahu pula apa hasil rumusan itu. Mungkin perlu kita buka lagi.

Yang banyak orang tahu adalah Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Rumusan P4 ini bukan tafsir Pancasila sebagai dasar negara, melainkan sebagai pedoman dan penuntun hidup bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara, penyelenggara negara, lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan.

Sebelum Tap MPR keluar, Presiden Soeharto sebenarnya telah menerima fungsionaris DHN (Dewan Harian Nasional) Angkatan 45 bersama Lembaga Pembina Jiwa 45 dan Panitia Pembentukan Badan Penggerak Pengamal Pancasila (BP3), 4 Desember 1974.

Pada kesempatan itu Presiden Soeharto meminta Angkatan 45 yang masih hidup untuk merumuskan tafsiran tunggal Pancasila. Tafsiran tunggal ini diperlukan untuk menghindari berbagai tafsiran menurut pikiran dan pandangan masing-masing. Untuk itu, Panitia Pembentukan BP3 pun membentuk Panitia Lima.

Anggota Panitia Lima adalah para pendiri RI yang saat itu masih hidup: Dr. H. Muhammad Hatta, Prof. Mr. H. Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Mr. Sunario, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo.

Tiga di antara lima tokoh itu, yakni Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, dan A.A. Maramis, oleh sidang Pleno BPUPKI ditugasi merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Panitia Lima dibantu oleh dua sekretaris, Drs. Imam Pratignyo dan Drs. Soerowo Abdoelmanap.

Atas pertimbangan politis, pemerintah menyatakan akan menangani sendiri pembentukan kader-kader Pancasila. Panitia Pembentukan BP3 versi DHN Angkatan 45 bubar. Meski begitu, Panitia Lima tetap melanjutkan misinya.

Tanggal 23 Juni 1975 Presiden Soeharto menerima Naskah Uraian Pancasila hasil rumusan Panitia Lima. Kepada delegasi, Presiden Soeharto berjanji akan menyampaikan naskah itu kepada Dewan Pertahanan Nasional untuk diteruskan ke MPR. Tetapi, tanggal 12 Maret 1978 MPR mengeluarkan ketetapan tentang P4 yang materinya sangat berbeda dengan rumusan Panitia Lima.

Saat itu, polemik perihal ini mewarnai pers nasional. Apa sebenarnya esensi naskah hasil rumusan Panitia Lima itu? Apa pun rumusannya, mengingat persoalan ini belakangan kembali jadi polemik menyusul Presiden Jokowi membentuk UKP PIP (Unit Kerja Pesiden bidang Pemantapan Ideologi Pancasila), kita perlu tengok lagi naskah yang disusun oleh para tokoh yang terlibat langsung dalam sidang BPUPKI itu. Demi terpeliharannya nilai-nilai Pancasila, mengapa tidak?

Panitia Lima terdiri atas lima tokoh pendiri RI:
1. Bung Hatta
2. Ahmad Subardjo Djojohadisurjo
3. A. A. Maramis
4. Mr. Soenario
5. A. G. Pringgodigdo

Kelima tokoh itu pernah mendapat tugas dari Presiden Soeharto untuk memberi penafsiran mengenai Pancasila, tetapi Orde Baru tidak petnah menggunakannya dan malah menggunakan penafsiran lain yang sangat berbeda dengan penafsiran lima tokoh itu. Berikut ini nukilan penting mengenai penafsiran mereka.

1. Mula-mula dalam pidato Bung Karno tentang dasar-dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kenerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai jawaban atas pertanyaan Ketua Panitia itu, dr. K.R.T. Radjiman Wedianingrat. Isi pertanyaan itu: Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk itu, apa dasarnya?

Pancasila permulaan itu rumusnya dan urutannya:
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme – atau perikemanusiaan;
3. Mufakat – atau demokrasi;
4. Kesejahteraan sosial;
5. Ketuhanan yang maha esa.

Jadinya berlainan dari formula dan uraian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, tetapi dasar ideologinya sama.

Pancasila terdiri atas dua lapis fundamen, yaitu:
1. Fundamen politik;
2. Fundamen moral (etik agama).

Bagi Bung Karno, sendi politik didahulukan, sendi moral jadi penutup. Bagi dia, dasar pertama: kebangsaan, yang menghendaki ‘satu nationale staat’, meliputi seluruh kepulauan Indonesia sebagai cetakan alam terkumpul di sana, di khatulistiwa sebagai satu kesatuan.

Dasar pertama: KEBANGSAAN. Soal bangsa dan kebangsaan tidak begitu mudah memecahnya secara ilmiah. Sukar memperoleh kriterium yang tepat apa yang menentukan bangsa, tidak dapat diambil sebagai kritetium:
1. persamaan asal;
2. persamaan bahasa;
3. persamaan agama.

Bangsa ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan itu bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diterima, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam di dalam hati dan otak.

Dengan kriterium ini dapat dipertahankan dan diuji cita-cita persatuan Indonesia …