Jakarta, Aktual.com – Jadi kalau namanya risis ekonomi, apalagi yang mengarah pada depresi ekonomi atau malaise kalau meminjam istilah krisis ekonomi pada 1930 di AS, akar penyebabnya selalu kapitalisme.
Kalau sebelum era kapitalisme, yang sering disebut era zaman abad pertengahan, produksi barang selalu atas dasar pesanan atau permintaan dari. Ada permintaan, ada pesan, baru barang diproduksi.
Kalau di era kapitalisme, utamanya sejak abad ke-17 hingga sekarang, produksi dibuat bukan atas dasar pesanan, tapi untuk mengejar pasar. Jadi para juragan menaksir kira kira berapa yang membutuhkan barang yang diproduksi, lantas dilempar ke pasaran.
Akibatnya seringkali meleset dari taksiran atau perkiraan para pengusaha yang memproduksi barang yang tanpa tahu persis berapa orang yang butuh, dan apa memang orang orang itu benar benar butuh. Maka, karena meleset, terjadilah over produksi. Nggak sinkron antara produksi dan konsumsi.
Karena over produksi, perusahaan ambruk dan guling tikar, para tenaga kerja yang mengandalkan sumber penghidupannya dari perusahaan atau pabrik itu, harus menganggur.
Nah, ketika pengangguran meningkat, apalagi ketika teknologi modern semakin pesat, tenaga kerja mulai tergeser. Ketika orang orang menganggur semakin tinggi di Eropa, maka negara harus membiayai hidup para pengangguran tersebut.
Darimana biaya untuk membiayai hidup para pengangguran itu? Dari keuntungan dunia usaha yang diberikan kepada negara melalui pajak. Tapi, begitu keuntungan dunia usaha mulai berkurang dan lantas habis, ke mana cari sumberdaya ekonomi baru untuk membiayai para pengangguran itu, agar para kapitalis itu tidak jadi amuk massa ketika mereka kelaparan?
Solusinya adalah, melancarkan imperialisme dengan menjadikan negara-negara berkembang di dunia timur, sebagai daerah-daerah jajahan baru.
Berarti, rakyat di negara-negara jajahan itulah yang dipaksa membiayai para pengangguran di Eropa dan Amerika Serikat, sejak abad ke-17 di era Kolonialisme klasik, hingga era neo-kolonialisme seperti sekarang ini.
Ketika di negaranya sendiri over produksi, dan masyarakat negaranya tidak ada yang, mau beli barang hasil produksi para kapitalis itu, maka barang-barang itu mereka jual ke negara-negara jajahannya sebagai wilayah pasar baru buat mereka. Ketika di negaranya over produksi, kemudian terjadi pengurangan tenaga kerja, buruh kasar jadi langka, dan karena buruh sudah punya serikat buruh yang cukup kuat tawar menawar kepada majikannya, upah buruh jadi besar. Solusinya, mereka mengeksploitasi buruh murah di negara-negara jajahannya.
Dengan begitu, pasar baru mereka dapat, bahan-bahan mentah buat diproduksi dalam rangka mengembangkan industri dalam negerinya juga dapat. Bahkan ketika over produksi dan produksi barang di negaranya tidak lagi prospektif, maka para kapitalis dengan restu negaranya, kemudian mengembangkan industrinya di negara-negara jajahan dengan dalih investasi asing.
Begitulah, asal-usul kolonialisme dan imperialisme. Bedanya, kalau dulu namanya Kolonialisme Klasik, kalau sekarang Neo-Kolonialisme.
Di tengah-tengah menajamnya persaingan global antara Amerika Serikat versus Republik Rakyat Cina di Asia Pasifik saat ini, ada baiknya kita merujuk kembali pada analisis-analisis ekonomi-politik Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI pertama. Dalam pandangannya yang disampaikan di depan para anggota Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada 1926, Hatta sangat tepat dan jitu dalam membedah akar-akar timbulnya kolonialisme dan imperialisme kala itu. Yang nyatanya, masih relevan hingga sekarang.
“Sebab utama ekspansi kolonial terletak pada kebutuhan besar akan suplai dari pihak masyarakat yang dijajah. Sekarang ini faktanya kebutuhan setiap orang secara umum, dan terutama orang Barat yang karakternya sangat kuat berciri ‘selfish,’ menunjukkan suatu konflik yang aneh, yang bermuara pada tindakan terorganisasi; jumlah kebutuhan yang tidak terbatas diperhadapkan dengan jumlah sarana pemuasan kebutuhan yang tidak mencukupi.”
Selanjutnya Hatta juga menyorot adanya indikasi kuat bahwa kolonialisme sejak awal mendapat dukungan dari sistem internasional yang ada:
“Dorongan untuk self-preservation akan menciptakan dalam diri masyarakat sebagai keseluruhan dalam sistem hukum internasional yang ada sekarang, suatu sifat yang sedikit banyak agresif. Mata mereka yang menatap penuh hasrat untuk memiliki segera akan mengarah pada wilayah-wilayah yang subur, di situ sumber-sumber kemakmuran berada di tangan penduduk asli setempat.”
“Jalan damai untuk mendapatkan kekayaan produk itu tentulah lewat perdagangan yang intensif dengan daerah itu. Tetapi, sikap takut bersaing di satu pihak dan hasrat untuk mendapatkan monopoli sumber-sumber pendapatan di lain pihak, akhirnya berbuah penundukan secara kasar rakyat yang ada di situ dengan eksploitasi atas tenaga fisik dan Tanah Air mereka.”
Untuk mendukung skema kapitalisme global melalui metode kolonialisme dan imperialisme, Hatta memandang sistem internasional yang diberlakukan terhadap masyarakat internasional sama sekali tidak berbasis keadilan. Lebih lanjut Hatta mengatakan: “Di dalam masyarakat internasional setiap tindakan dari yang terkuat dapat disebut benar, sekalipun itu mungkin berarti perampokan atau kekerasan. Itulah kenapa setiap dorongan rakyat terjajah demi rasa keadilan umum minta untuk diakui haknya untuk merdeka hampir selalu sia-sia dan sarana-sarana untuk mencapai kebebasan itu dapat diberangus. Kita tahu bahwa opini umum selalu dibentuk sebagian besar oleh opini masyarakat penjajah dan sekutu-sekutu mereka. Sebuah bangsa taklukkan harus menciptakan under its own steam(dengan uapnya sendiri) hak untuk hadir sebagai bangsa.”
Bagi Hatta, kolonialisme berarti merupakan penerapan hasrat-hasrat untuk merampok dan kerakusan negeri-negeri yang lebih kuat secara material untuk dapat memuaskan kepentingan ekonomi dan komersial mereka atas tanggungan negeri-negeri yang lebih lemah.
Dengan demikian, mustahil suatu hubungan internasional tercipta atas dasar kesetaraan dan keadilan, dan melalui perjanjian internasional yang saling menguntungkan. Sebab dalam realitasnya merupakan perampasan dengan cara kekerasan oleh suatu negara dengan mengeksploitasi penduduk suatu negeri, karena memiliki kekuatan dan potensi untuk menindas. Sehingga dalam kerangka hubungan yang diwarnai oleh kolonialisme dan imperialisme, yang dikedepankan adalah kepentingan dan kekuasaan.
Tabir Rahasia Kolonialisme dan Imperialisme yang diungkap Hatta pada 1926 ketika beliau masih berusia 24 tahun, nampaknya masih relevan hingga sekarang. Kalau dulu ketika Belanda menjajah Indonesia demi merebut bahan mentah pertanian seperti Rempah-Rempah dan Cengkeh, metode yang diterapkan adalah Kolonialisme Klasik, yang bersifat langsung dan menggunakan kekuatan bersenjata dalam menjajah bumi nusantara yang kala itu bernama Hindia Belanda.
Sekarang, ganti kulit dengan sebutan Neo-Kolonialisme, yang bersifat tidak langsung dan non-militer, dalam menaklukkan geopolitik Indonesia. Metode yang dilakukan adalah melakukan penetrasi kepentingan korporasi-korporasi multinasional dan modal asing di beberapa sektor strategis negara seperti energi, migas, pertambangan dan bahkan pertanian, terhadap sektor-sektor strategis.
Keberhasilan Freeport, Newmont dalam menguasai sektor mineral dan batubara dengan melumpuhkan Undang-Undang No 9 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara berdasarkan terbitnya PP No 1/2014 sehingga Freeport dan Newmont tetap mendapatkan hak-hak istimewa dari pemerintah Indonesia, merupakan bukti nyata diterapkannya Neo-Kolonialisme ala Amerika Serikat.
Di sektor pertanian, Monsanto dan Dupont, beberapa waktu lalu, berupaya menyetir arah kebijakan pemerintah Indonesia, agar kedua korporasi multinasional yang bergerak di bidang Agro Ekonomi tersebut, mendapatkan hak-hak istimewa untuk memegang monopoli dalam penguasaan pasar pertanian di Indonesia, khususnya terkait Proyek Genetically Modified Organism(GMO) semacam Proyek Teknologi Rekayasa Genetika di Indonesia.
Freeport, Newmont, Monsanto dan Dupont, sejatinya merupakan VOC-VOC gaya baru yang meneruskan metode Neo-Kolonialisme di Indonesia, sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Sejak 1947, menyusul berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat, menggelar pertemuan Bretton Wood, yang kelak melahirkan dua organisasi bidang moneter berskala internasional: Bank Dunia dan IMF. Keduanya menandai sebuah era baru dari metode Kolonialisme Klasik ke Metode Neo-Kolonialisme. Yang mana korporasi-korporasi multinasional menjadi kekuatan ekonomi global yang menggunakan modal asing sebagai senjata untuk menaklukkan negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin, untuk merebut bahan-bahan mentah bagi pengembangan industri negara-negara mereka, dan mengurai pasar yang seluas-luasnya di negeri-negeri yang jadi sasaran kolonisasi mereka.
Itulah sebabnya, Analisis Hatta dalam mengungkap Tabir Rahasia Kolonialisme dan Imperialisme lebih dari satu abad yang lalu, nampaknya masih tetap berlangsung hingga sekarang.
Hendrajit
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit