Strategi menggaet

Bukan sekadar angka, tingkat partisipasi pemilih muda dalam pesta demokrasi mendatang memiliki nilai penting sebagai pembeda. Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan kehadiran anak muda yang memiliki pemikiran lebih kritis, inovatif, dan progresif menjadi harapan baru dalam dinamika politik negeri ini.

Sebagai contoh, soal money politics. Selama ini tingkat permissiveness-nya sangat tinggi, antara 60 hingga 70 persen.

“Maka, anak-anak muda bisa jadi pembeda karena mereka punya mindset yang sangat tegas untuk bisa menolak politik uang,” jelas Gun Gun kepada Antara.

Kita optimistis banyak pemilih muda yang bersemangat menyambut pesta demokrasi. Ia melihat ada tiga strategi yang bisa digunakan untuk menarik minat anak-anak muda.

Pertama, menghadirkan isu yang menarik. Pemilih muda tidak selamanya apatis pada politik dan cenderung sangat peduli dengan isu-isu kekinian, seperti lapangan pekerjaan dan industri kreatif. Karenanya, partai, calon legislatif atau calon presiden, nantinya harus jeli melihat hal ini.

Kalau isu-isu yang dekat dengan keseharian anak-anak muda ini ditampilkan, maka hal ini bisa jadi semacam mood booster bagi kehadiran mereka di tempat pemungutan suara nanti.

Kedua, adalah pemanfaatan multiplatform komunikasi. Informasi politik di media arusutama tidak terlalu menarik bagi anak-anak muda. Mereka cenderung scrolling untuk melihat apa yang tengah viral, easy listening, atau mungkin juga “mudah dikunyah” di media sosial. Maka, baik penyelenggara maupun peserta pemilu mesti memanfaatkan kondisi semacam ini.

Partai tidak bisa lagi mengajak orang untuk memilih kandidatnya dengan model linear atau searah, namun harus membangun model resiprokal atau timbal-balik. Di lain sisi, penyelenggara juga harus memanfaatkan media sosial apapun yang memungkinkan daya jangkau diseminasi agar menyentuh anak-anak muda.

Hal ini bisa menjadi jembatan dengan anak-anak muda dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi tertarik, dan dari tertarik mempertimbangkan. Kemudian dari mempertimbangkan pada akhirnya nanti akan memilih.

Hal ketiga, yang bisa mendongkrak partisipasi anak muda dalam pemilu adalah pendekatan berbasis hubungan, pemberdayaan dan pelayanan komunitas. Menurut anak-anak muda cenderung berkerumun atau membentuk komunitas, baik yang bersifat offline atau online, seperti komunitas hobi yang bersifat produktif.

Kecenderungan berkumpul yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan pelibatan anak-anak muda dalam politik atau political engagement.

Dari perspektif penyelenggara pemilu, misalnya, maka sebaiknya hindari menggelar seminar di hotel atau lokakarya yang old school. Cara mengemasnya jangan terlalu kaku dengan model narasumber atau seperti kuliah, namun dialog interaktif atau membahas hal-hal sederhana dengan entry point yang menarik.

Gun Gun juga menyoroti betapa penting peran media sosial dalam kaitannya dengan pemilih muda. Apalagi hasil survei Aksara Research and Consulting menggambarkan betapa media sosial menjadi medium pilihan terfavorit anak-anak muda. Sebanyak 43,2 persen generasi ini mengikuti isu-isu politik di media massa, lalu sebesar 32,10 persennya berkomentar di media sosial. Hanya sebanyak 4,2 persen responden yang memilih aksi unjuk rasa.

Semua yang bergiat di media digital akan menjadi penting untuk Pemilu 2024. Kita mulai intens dengan digital politic sejak Pemilu 2014. Itu kemudian teramplifikasi saat Pilpres Amerika.

“Seingat saya, gelombang digital politik, bahkan sudah masuk tahun 2012. Lalu pada 2019 terteguhkan dan nanti pada 2024, menurut saya, menjadi salah satu fenomena yang menentukan,” ungkapnya.

Etika bermedia sosial

Anak-anak muda dan media sosial adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Media sosial bisa menjadi jembatan efektif untuk memberikan pengenalan nilai-nilai politik kepada generasi kekinian.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kemenkominfo Usman Kansong mengatakan selama ini pihaknya memiliki pendekatan literasi digital pendidikan politik dengan mengajak anak muda untuk ikut memilih atau mencoblos. Kemudian, sekumpulan anak-anak muda dengan kemampuan literasi digital politik yang mumpuni bisa menularkan pengetahuannya kepada teman-temannya.

Kemenkominfo dalam hal ini juga telah berkomitmen untuk menjaga ruang digital publik melalui mekanisme yang mencermati sisi hulu, tengah, dan hilir. Ikhtiar ini bertujuan menjaga muruah ruang digital agar tidak terlalu banyak tercemari disinformasi, ujaran kebencian, hoaks dan lainnya.

Dari hulu Kemenkominfo melakukan literasi digital yang sifatnya preventif dan edukatif melalui empat pilar, yaitu keterampilan digital, etika digital, budaya digital, dan keamanan digital.

“Di sinilah kami berupaya mengedukasi masyarakat dalam bermedia sosial, salah satunya dengan memperhatikan etika digital (digital ethic) dan budaya digital (culture ethic),” ujar Usman.

Selanjutnya di sisi tengah, Kemenkominfo memiliki mekanisme korektif untuk memantau konten-konten negatif atau terlarang, seperti ujaran kebencian, hoaks, pornografi, atau disinformasi politik. Mekanisme di sisi ini bisa dimanfaatkan khalayak bila menemukan dugaan pornografi, disinformasi, hoaks, atau pun ujaran kebencian melalui laman aduankonten.id.

Kalau menemukan ada pelanggaran, maka akan meminta platform untuk menurunkan (take down) konten terkait. Lalu dengan memanfaatkan media arusutama, kanal-kanal Kemenkominfo dan kementerian atau lembaga lain, disampaikan kepada publik bahwa informasi tadi bersifat hoaks atau terjadi disinformasi.

Sedangkan di bagian hilir, dalam konteks pemilu, Kemenkominfo berkoordinasi dengan Polri, KPU, dan Bawaslu untuk menindaklanjuti subjek yang terbukti telah melakukan pelanggaran.

Usman juga berharap anak-anak muda tetap aktif bersuara di media sosial sekaligus bijak dan memperhatikan etika untuk menghadirkan ruang publik yang sehat dan mencerahkan utamanya selama tahun politik.

Pihaknya mengajak generasi muda untuk tidak membuat hoaks atau disinformasi politik, ujaran kebencian, dan kegaduhan politik di media sosial. Selalu kedepankan nilai-nilai budaya, ideologi Pancasila, bingkai NKRI-Bhinneka Tunggal Ika, kearifan lokal, dan nilai-nilai agama. Mari kita sambut tahun politik ini dengan menghadirkan ruang digital publik yang nyaman untuk semua orang.