Karena itu, alangkah tidak etis memberi ruang kebencian dan kemarahan di hati kita oleh sebab apapun dan kepada siapapun. Allah sudah menitahkan hambanya tuk berkasih-sayang di antara sesama dan semesta. Bahkan Allah sendiri seolah telah mewajibkan bagi diri-Nya sifat rahmat ini, sebagaimana Firmannya dalam surah Al-An’am ayat 54 :
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ …..
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang”….
Sungguh disayangkan bila seseorang membiarkan diri diliputi oleh kebencian dan buruk sangka kepada orang lain, terlebih kepada saudaranya yang seiman. Padahal Allah sendiri menetapkan atas dirinya sifat Ar-Rahman yang mulia sebagai bentuk anugrah, kabaikan dan karunia bagi orang yang melakukan kesalahan sebesar apapun.
Kita sebagai hambanya menjadi durhaka jika mengabaikan sifat rahmaniyah ini dalam bermuamalah dengan orang lain. Dan patut bersedih karena bisa jadi Allah telah mengangkat sifat rahmannya dari diri kita sehingga kita menjadi mudah membenci dan bersikap kasar terhadap orang lain.
Dari itu, dapat dilihat bahwa sumber perpecahan yang melanda umat Islam saat ini tidak lain adalah karena hilangnya sifat rahmaniyah. Akibatnya hati menjadi keras membatu, penuh amarah dan tidak punya rasa empati terhadap makhluk lainnya. Dan tentu saja Selanjutnya hati yang keras ini menjadi sarana iblis untuk menanamkan sikap sombong dan mementingkan diri sendiri.
Jika rasa kasih-sayang dalam hati seseorang sudah hilang maka maka kita perlu khawatir bahwa hal tersebut merupakan indikasi tercerabutnya Rahmat Allah dalam diri orang tersebut yang berarti akan munculnya sikap ammarah dan tersebarnya kebencian. Seperti Abu Lahab yang tak henti-henti menyeru kebencian kepada Al-Musthafa.
Artikel ini ditulis oleh: