Tapi yang pasti mengepankan sifat rahmaniyah dalam bergaul merupakan akhlak yang diajarkan Allah dan rasulnya. Seperti disebutkan dalam hadis: ” sesungguhnya rahmatku mendahului marahku” (Inna Rahmati Sabaqat Ghadhabi).

Rasa kasih-sayang seperti contoh di atas, saat ini sudah mulai lenyap akibat pola hidup yang serba hidonis dan mengejar kesenangan.

Relasi antar manusia seperti relasi benda-benda mati yang antara satu dengan lainnya tidak berhubungan. Relasi kehidupan menjadi kaku dan penuh pamrih. Empati dan kasih sayang seolah sudah pergi entah kemana.

“Tidak ada makan siang yang gratis” katanya, dalam membangun relasi. Kita akan berlaku baik jika orang berlaku baik pula pada kita sebaliknya kalau berlaku buruk maka buruk pula sikap kita.

Padahal Rahmaniyah Allah tidaklah demikian. Rahmat Allah tidak mandang apakah ia taat atau inkar, muslim atau kafir, berkulit hitam atau putih, miskin atau kaya, Rahmat Allah tetap menyertainya. Artinya, mengutip eniru sikap Rahmaniyah Allah berarti bersikap tanpa syarat dan tanpa pamrih.

Oleh karena itu, penting kiranya kita menengok kembali diri kita sambil menyelami hakekat penciptaan manusia dan alam (Muhasabah). Hakekat penciptaan yang lahir dari rahim Ar-Rahman, sepatutnya dihargai sebagaimana Allah menghargainya.

Artikel ini ditulis oleh: