Pancasila sebagai Philsophische Grondslag dan Weltanschauung

Dalam lintasan panjang proses konseptualisasi Pancasila dapat dikatakan bahwa 1 Juni 1945 merupakan hari kelahiran Pancasila. Pada hari itulah, lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan nama Panca Sila, dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah. Meski demikian, untuk diterima sebagai dasar negara, Pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui perumusan Piagam Jakarta (22 Juni) dan akhirnya mengalami perumusan final lewat proses pengesahan konstitusional pada 18 Agustus 1945. Karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945. Meskipun UUD 18 Agustus 1945 itu telah mengalami beberapa kali perubahan, namun ia selalu menegaskan di dalam Mukadimahnya, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila saling mengait.

Yang menjadi pegangan resmi sejak Dekrit Presiden No. 150 Tahun 1959, adalah rumusan Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959, dengan sedikit perubahan rumusan sila keempat, yakni kata “permusyawaratan-perwakilan” diubah menjadi “permusyawaratan/perwakilan” sesuai dengan yang terdapat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu, Pancasila dapat dikatakan telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische gronslag) dan Ideologi negara (Weltanschauung). Dalam pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, ia menyebut istilah “Philosfische gronslag” sebanyak 4 kali plus 1 kali menggunakan istilah “filosifische principe”. Sedangkan istilah “Weltanschauung” ia sebut sebanyak 31 kali. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa Bung karno lebih menekankan Pancasila dalam pengertian ideologis.

Tentang istilah “Philosophische grondslag”, ia definisikan sebagai “Fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka.” Frase “untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” menjelaskan bahwa Pancasila sebagai Philosophische grondlag merupakan padanan dari istilah “Dasar Negara”.

Tentang istilah Weltanschaaung, ia tidak memberikan definisinya secara eksplisit; namun tersirat dari contoh-contoh yang ia berikan, antara lain, sebagai berikut:
1.    Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”.
2.    Lenin mendirikan negara Sovyet di atas “Marxistische, Historisch Materialistiche Weltanschaaung”,
3.    Nippon mendirikan negara di atas “Tenno Koodo Seisin”,
4.    Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas dasar agama, yaitu Islam,
5.    Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka di atas “Weltanschauung” San Min Chu I, yaitu Mintsu, Minchuan, Minshen: Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme.

Pengertian Bung Karno bahwa Weltanschauung itu dekat dengan ideologi dan bahkan agama, mirip dengan pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar (Grundgesetz) Jerman. Dalam pasal 4 UUD tersebut dinyatakan bahwa Weltanschaaung harus diperlakukan sama dengan agama. Bedanya, Weltachauung adalah hal yang bersifat “immanent”, sedangkan Agama bersifat “transendent” (Kusuma, 2014).

Perlu dijelaskan bahwa filsafat/falsafah (philosophy) dan Weltanschauung (worldview, pandangan dunia) tidak selalu sebangun. Filsafat berkonotasi sebagai pemikiran saintifik dan rasional dengan klaim validitas universalnya. Adapun Weltanschauung berkonotasi sebagai pandangan yang relatif lebih personal, eksistensial dan historikal. Filsafat ada dalam lingkungan pengetahuan, sedangkan Weltanschauung ada dalam lingkungan hidup (Wolters, 1993; Driyarkara, 2006).
Dalam pandangan Prof. Driyarkara, “filsafat sebagai filsafat belumlah berupa (menjadi) Weltanschauung. Dengan berfilsafat orang berhasrat memerlukan memandang realitas sedalam-dalamnya.” Untuk menjadi Weltanschauung, filsafat harus mengambil sikap dan pendirian tentang dunia kehidupan. Pemikiran yang abstrak beralih menjadi pendirian hidup, yang kemudian pendirian itu diterima dan dijalankan.

Sebaliknya, Weltanschauung tidak selalu didahului dan melahirkan filsafat. Di dalam berbagai kearifan tradisional berbagai suku di Indonesia, terkandung adanya Weltanschauung, tetapi tanpa rumusan filsafat. Selain itu, ada pula Weltacshauung yang melahirkan rumusan filsafat, dan filsafat berbuah Weltanschauung.

Atas dasar itu, terdapat perbedaan pandangan di antara para pakar mengenai hubungan filsafat dan Weltanschauung. A.B. Wolters membedakannya ke dalam 5 kelompok pandangan.
1.    Weltanschaaung repels philosophy (Weltanschauung berbeda dengan filsafat). Hal ini dikemukakan oleh Kierkegaard, tokoh Eksistensialisme dan Carl Jaspers yang menulis buku “Psychologie der Weltanscauungen”.
2.    Weltanschauung crown philosophy (Weltanschauung adalah mahkota dari Filsafat). Menurut model ini, Weltanschauung adalah manifestasi tertinggi dari filsafat. Tujuan filsafat adalah menjelaskan arti kehidupan dan nilai yang dianut. Pandangan ini dianut oleh Neo Kantianism aliran Baden (Ricket dan Wundt).
3.    Weltanschuung flanks philosophy (Weltanschauung berdampingan dengan filsafat). Betapapun Weltanschauung itu “sah” (legitimate) keberadanya, dan jangan dicampuradukkan dengan “scientific philosophy yang mengandung bebas nilai (value-free nature). Aliran ini dianut oleh H. Ricket, E. Husserl dan Max Weber.
4.    Weltanschauung yields philosophy” (Weltanschauung menghasilkan filsafat). Filsafat tidak menghasilkan Weltanschauung, tetapi kebalikannya, yaitu dihasilkan oleh Weltanschauung. Dianut oleh Dilthey dan Karl Mannheim.
5.    Weltanschauung equals phisophy (Weltanschauung sebangun dengan Filsafat. Aliran ini dianut oleh Friedrich Engels yang menyatakan bahwa, “Dialectical Materialism is the truly scientific Weltanschauung and therefore a virtual synonym for ‘philosophy’ (Wolters, 1983: 14-25).

Pengertian Bung Karno yang memandang Pancasila sebagai Weltanchauung dan sekaligus sebagai Philosophische grondslag menyerupai pandangan Friedrich Engels. Bahwa Weltanschaaung sebangun dengan filsafat yang menyatu dalam ideologi. Dengan kata lain, ideologi adalah pendangan dunia (Weltanschauung) yang diteoritisasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-filosofis. Ideologi juga bisa dikatakan sebagai filsafat yang dimanifestasikan sebagai keyakinan normatif, kerangka interpretatif dan operatif dalam dunia kehidupan.

Dasar berfikir Bung Karno kira-kira dapat dijelaskan seperti ini. Bahwa nilai-nilai pendirian hidup yang digali dari berbagai kearifan suku bangsa dipandang sebagai bantalan Weltanschauung bagi negara Indonesia merdeka. Agar Weltanschauung masing-masing suku bangsa ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi mengandung kesatuan dan koherensi yang bisa menjadi dasar dan haluan bersama, maka Weltanschauung tersebut perlu dirumuskan secara sistematik dan rasional; menjadi scientific Weltanschauung, yang sebangun dengan filsafat (Philosophische grondslag). Selanjutanya, Pancasila sebagai scientific Weltanshauung itu menjadi ideologi negara.

Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan dasar keyakinan-normatif, pengetahuan, tindakan kita sebagai bangsa. Ia merupakan  sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Soekarno sendiri melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia itu secara padat dan meyakinkan: “Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.”
Bersambung…

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual

Artikel ini ditulis oleh: